Oleh: Mulyadi
Ketika rumah sakit tempat terakhir bergantungnya nyawa terkontaminasi urusan politik, maka kita tengah menghadapi krisis yang jauh lebih dalam dari sekadar kekurangan fasilitas atau tenaga medis. Politisasi pelayanan kesehatan bukan isu sepele; ia adalah ancaman nyata terhadap nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan integritas profesi.
Fenomena diskriminasi pelayanan berdasarkan afiliasi politik pasien atau tenaga kesehatan mulai menyeruak ke permukaan. Kondisi ini bukan hanya melukai etika profesi medis, tetapi juga menodai prinsip dasar pelayanan publik: semua warga negara berhak mendapatkan perlakuan yang setara, apapun latar belakangnya.
Rumah sakit bukan panggung kampanye, bukan tempat mengukur loyalitas partai, dan bukan pula ruang kompromi kekuasaan. Ia harus menjadi zona netral yang steril dari kepentingan politik praktis. Sayangnya, dalam praktiknya, warna politik mulai ikut menentukan siapa yang cepat dilayani, siapa yang diabaikan.
Penting bagi para pemangku kepentingan baik di birokrasi kesehatan maupun legislatif daerah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh. Jika tidak, ketidakpercayaan publik terhadap sistem kesehatan akan semakin memburuk. Ketika nyawa dipertaruhkan, maka netralitas bukan pilihan, melainkan keharusan mutlak.
Sudah saatnya kita menyelamatkan ruang rawat dari jerat politik, sebelum pelayanan medis benar-benar kehilangan jiwanya.