ACEH UTARA – Kesabaran warga Kemukiman Beurandang, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara, akhirnya mencapai titik didih. Jalan penghubung sepanjang 5,5 kilometer yang menghubungkan permukiman mereka dengan Kecamatan Pirak Timur dibiarkan rusak parah selama bertahun-tahun—menganga, berlubang, dan tergenang lumpur. Di tengah penderitaan rakyat, kendaraan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) justru lalu-lalang tanpa henti, mengangkut hasil panen sawit, seakan buta dan tuli terhadap derita warga.
Mukim Beurandang, Usman—akrab disapa Pangeran—tak lagi mampu menahan amarah. Ia melukiskan bagaimana anak-anak sekolah harus bertaruh keselamatan melewati jalan yang lebih mirip kubangan. Tak jarang mereka jatuh, kotor, dan tetap melangkah demi menuntut ilmu. Petani pun menjerit—ongkos produksi melonjak, harga jual anjlok. Semua gara-gara jalan yang seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif, justru dibiarkan rusak demi kelancaran bisnis perusahaan plat merah itu.
“Dulu, saat dikelola pabrik gula, perusahaan masih punya nurani. Mereka rawat jalan, bantu masyarakat. Sekarang, PTPN hanya tahu ambil hasil, tapi tak mau tahu soal tanggung jawab,” tegas Usman penuh kecewa.
Ironi semakin terasa ketika PTPN disebut sempat membuat kesepakatan tertulis untuk memperbaiki jalan. Namun kini, dokumen itu tinggal kenangan. Tak ada realisasi, tak ada komunikasi. Bahkan upaya media untuk mengonfirmasi juga mandek. Setelah dijanjikan pertemuan 16 April, diundur ke 21 April. Pada hari-H, tak seorang pun dari pihak PTPN muncul. Bungkam dan menghilang.
“Jangan anggap kami tak mampu. Kalau PTPN terus abai, portal jalan akan kami pasang. Aktivitas mereka bisa lumpuh total,” ancam Usman.
Warga juga menuding praktik tidak manusiawi dilakukan oleh pihak PTPN, khususnya terhadap warga miskin yang kedapatan memungut brondolan sawit. Tak jarang, janda dan orang tua diperlakukan bak kriminal hanya karena mengambil buah senilai tak sampai Rp50 ribu. Motor mereka disita, nama mereka dibawa ke kepolisian.
“Ini bukan hanya soal jalan. Ini soal martabat. PTPN sudah melewati batas,” tegas Pangeran.
Ia pun mendesak Bupati Aceh Utara agar mengevaluasi ulang Hak Guna Usaha (HGU) PTPN yang kabarnya akan berakhir pada 2026. “Jika perlu, sebagian lahan HGU dikembalikan ke rakyat. Jangan biarkan perusahaan yang tak pro-rakyat terus menghisap kami,” tambahnya.
Sementara itu, dana koordinasi Rp300 ribu per bulan yang diberikan PTPN kepada aparatur desa dan mukim ditolak mentah-mentah disebut sebagai bentuk tanggung jawab sosial. “Itu bukan CSR. Itu hanya upaya membungkam suara kami,” tukas Usman.
Kemarahan warga Beurandang kini hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak. Jika pemerintah dan pihak terkait tetap diam, bukan tak mungkin pemblokiran jalan akan benar-benar dilakukan, memicu krisis sosial dan ekonomi yang lebih luas. Satu hal pasti: masyarakat tak lagi mau menjadi korban di tanah sendiri.(M)