Aceh -- Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan potret nyata dari fenomena pemborosan anggaran yang kembali terjadi di tanah rencong, Aceh. Berdasarkan data Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) LKPP, sebanyak Rp61,7 miliar digelontorkan oleh Biro Umum Kantor Gubernur Aceh hanya untuk mengurus urusan rumah tangga Gubernur dan Wakil Gubernur. Ini bukan sekadar angka, ini adalah bentuk nyata dari kemiskinan nurani dan pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat.
Ketua Umum DPM FH UNIMAL Teuku Irsyadul Walad Faini merespon
Ketika Jalan Rusak dan Lumbung Kosong, Gorden Diganti.
Di tengah masih banyaknya rakyat Aceh yang tinggal di rumah tidak layak huni, Biro Umum malah menganggarkan Rp600 juta untuk gorden dan Rp1,3 miliar untuk pakaian safari pejabat. Pengadaan iPad, iPhone, dan MacBook seharga Rp639 juta hanya bisa dijelaskan dengan satu kata: Hedonisme Birokrasi. Pengadaan mobil Dinas mewah seperti Toyota Zenix dan Pajero Sport dengan nilai fantastis (Rp9,2 miliar) ini sangat tidak relevan, Ini membuktikan bahwa mental pejabat kita masih menjadikan jabatan sebagai gaya hidup, bukan amanah rakyat. Ujarnya
Irsyad menyampaikan
Sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, Aceh seharusnya melakukan efisiensi bukan malah bersolek anggaran. Apa yang dilakukan oleh Biro Umum adalah contoh nyata kesalahan dalam mengurus prioritas pembangunan. Mereka tidak sensitif terhadap realitas sosial masyarakat Aceh.
Irsyad menuntut pemangkasan anggaran Biro Umum yang tidak pro rakyat, audit transparan atas 138 kegiatan SIRUP, serta pengalihan dana ke sektor padat karya, pertanian, dan infrastruktur desa.
Dalam situasi ini, DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) tidak bisa diam. Sebagai lembaga legislatif daerah, DPRA memiliki kewenangan penting untuk mengevaluasi dan mengawasi penggunaan APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh). Mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, DPRA berhak melakukan pengawasan terhadap kinerja Pemerintah Aceh, termasuk dalam hal belanja daerah yang tidak mencerminkan kepentingan publik.
irsyad menyampaikan, anggaran daerah adalah amanah rakyat, bukan untuk didekorasi dalam kemewahan birokrasi, melainkan untuk memperbaiki nasib kaum kecil. Saat penguasa buta terhadap penderitaan rakyat, maka mahasiswa harus menjadi cahaya yang mengingatkan. Kami tidak diam, karena kami adalah suara yang lahir dari perut.(**)