Lhokseumawe — Rumah Sakit Arun kembali mencuri perhatian publik. Bukan karena prestasi medis yang membanggakan, tetapi karena dugaan pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar tenaga kerja. Di balik gemerlap pencitraan dan narasi kepatuhan, mencuat potret buram yang membuat publik bertanya: apakah RS Arun sekadar menjual citra sambil mengorbankan hak pekerja?
Kasus ini menyeruak setelah muncul laporan bahwa sejumlah tenaga kerja di RS Arun selama tiga tahun terakhir diduga tidak menerima hak BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana mestinya. Meski kewajiban ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 serta peraturan turunannya, manajemen rumah sakit tampaknya memilih diam, Rabu (23 April 2025).
Pewarta media ini telah mencoba mengonfirmasi isu tersebut kepada manajemen RS Arun. Seorang perwakilan manajemen, sebut saja Mawar (nama samaran), yang dihubungi melalui pesan WhatsApp justru tidak memberikan tanggapan substantif. Ia hanya mengirimkan tautan berita klarifikasi dari media lain, disertai emotikon jempol seolah meremehkan keseriusan tudingan ini.
Tak hanya satu dua orang, kasus ini dialami oleh sejumlah pekerja. Sebut saja Baja (nama samaran) yang mengaku mengalami hal serupa bersama rekan-rekannya.
Saat diminta klarifikasi, Direktur RS Arun, dr. Januar, malah melempar bola panas ke pihak lain. “Sudah ditanyakan ke direktur PT RS, jadi lebih baik langsung saja ke sana. Itu bukan wewenang saya,” jawabnya singkat lewat pesan WhatsApp.
Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan Kota Lhokseumawe yang dikonfirmasi menegaskan bahwa sesuai dengan regulasi yang berlaku, setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan seluruh pekerjanya ke program jaminan sosial. Berdasarkan data yang dihimpun BPJS, RS Arun baru mendaftarkan sebagian tenaga kerjanya secara bertahap: Februari 2025 tercatat 270 pekerja, dan kini mencapai 329 orang.
Namun, BPJS juga mengonfirmasi telah mengirimkan surat pada 5 Maret 2025 kepada RS Arun, menyoal masih adanya 58 pekerja yang belum didaftarkan serta ketidaksesuaian dalam pelaporan upah. Pemeriksaan data pun telah dilakukan, namun publik masih menunggu langkah tegas dari pihak terkait.
BPJS pun mengimbau para pekerja yang merasa dirugikan untuk melapor ke Dinas Tenaga Kerja atau langsung ke BPJS. Mereka membuka pintu selebar-lebarnya untuk proses klarifikasi dan pemeriksaan data lebih lanjut.
Persoalan ini bukan semata soal administrasi. Ini tentang tanggung jawab moral dan legal sebuah institusi kesehatan terhadap para pekerjanya. Jika benar RS Arun selama bertahun-tahun menelantarkan hak dasar tenaga kerja, maka itu bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
Pertanyaannya kini: sampai kapan ilusi citra akan terus ditampilkan sementara hak pekerja dikesampingkan? (A1).