Bagaimana Islam Memandang Biaya Perpisahan Sekolah


author photo

14 Apr 2025 - 20.24 WIB


Oleh: Nurnaini S.Kom (Aktivis Muslimah Samarinda)

Biaya perpisahan sekolah di Balikpapan menjadi polemik lantaran dinilai terlalu mahal hingga orangtua siswa mengeluh. Salah satu orangtua di Balikpapan menyebut tiap siswa dikenakan Rp 530 ribu untuk biaya perpisahan sekolah, biaya tersebut belum termasuk untuk pendamping. Terbaru, Walikota Balikpapan, Rahmad Mas'ud mengeluarkan himbauan agar sekolah menggelar acara perpisahan secara sederhana dan dilaksanakan di lingkungan sekolah masing-masing. Himbauan ini disampaikan Walikota Balikpapan Rahmad Mas'ud, Senin (17/3/2025), dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi sebagian masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Tidak semua orang tua siswa mampu menanggung biaya tambahan yang dibebankan dalam acara seremonial seperti wisuda,” ujar Rahmad Mas’ud. Selain itu, Ia juga menekankan pentingnya kepekaan sosial dalam menentukan bentuk perayaan perpisahan siswa. Meski begitu, Walikota menyebutkan bahwa jika biaya seluruh kegiatan tersebut ditanggung oleh pihak sekolah atau mendapat dukungan dari sponsor, maka hal itu masih bisa dipertimbangkan. Untuk memastikan imbauan ini dijalankan dengan baik, Rahmad Mas’ud berencana berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Balikpapan. (https://kaltim.tribunnews.com/2025/03/18/biaya-perpisahan-sekolah-di-balikpapan-dikeluhkan-ada-yang-capai-rp-800-ribu-imbauan-walikota.).

Upacara perpisahan sekolah sejatinya dilakukan sebagai bentuk penghargaan atas prestasi siswa dan penghargaan bagi siswa yang telah berhasil meraih kelulusan setelah menempuh pendidikan beberapa tahun di sekolah. Tentu tidak ada yang salah dengan hal ini. Sah-sah saja jika momen pelepasan siswa ini dirayakan oleh para guru, siswa dan orangtua murid. Acara perpisahan harusnya dilaksanakan dengan penuh khidmat agar menambah kecintaan kepada ilmu, penghoramatan kepada para guru dan muhasabah bagi semua yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan, baik bagi siswa, pihak sekolah maupun orangtua. Ketika acara ini dipandang membawa pengaruh bagi siswa untuk menambah motivasi mereka dalam belajar dan meraih prestasi serta meningkatkan kualitas pendidikan maka harusnya ini menjadi satu kesatuan dengan kegiatan sekolah. Sehingga pembiayaan dalam kegiatan perpisahan masuk dalam anggaran sekolah maka orangtua bebas biaya. Kalaupun orang tua dilibatkan dalam pembiayaan acara ini sesuai kemampuan saja sehingga tidak membebani mereka.

Jika diperhatikan pun ketika sudah lulus maka gambaran untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya saja belum tau, kepastian mendapatkan pekerjaan saja sangat jauh. Beginilah paradigma dalam system kapitalis yang sandarannya adalah materi. Kapitalisme selalu disandarkan kepada materialisme termasuk yang sangat penting untuk kelulusan siswa. Lalu bagaimaa kualitas kepribadian setelah lulus? Sampai saat ini pun belum menemukan solusinya.
 
Pada faktanya kehidupan sekuler kapitalis yang sangat meterialistis telah membentuk tradisi acara perpisahan yang diwarnai dengan kemewahan, baik dari sisi tempat maupun pakaian serta riasan wajah. Bahkan seringkali menimbulkan kemaksiatan seperti ikhtilat (bercampur baur antara laki laki dan perempuan), bertabarruj (berhias diri untuk menunjukkan kecantikan) atau bahkan berkhalwat (berduaan dengan yang bukan mahrom) dan berbagai aktivitas lainnya yang sangat bertentangan dengan hukum syara. Terlebih lagi penerapan system kapitalis menjadikan negara sebatas regulator yang tidak memiliki tanggung jawab penuh dalam menjamin terpenuhinya pendidikan bagi seluruh rakyat. Alih-alih menjadi momen kebersamaan yang bermakna, perpisahan sekolah justru membuka ruang bagi gaya hidup hedonis yang bertentangan dengan nilai nilai moral dan agama. Dalam system kapitalisme, perayaan kelulusan sekolah dianggap sebagai tanggung jawab sekolah atau orang tua, sehingga pemerintah tidak turut campur dalam pengaturan maupun pengawasannya. Akibatnya, tidak ada regulasi yang jelas mengenai batas, konsep acara, maupun dampak sosial yang ditimbulkan. Alhasil pembiayaan pendidikan tidak menjadi prioritas negara, bahkan memaksa rakyat untuk ikut serta memikul tanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan. Maka wajar saja jika pembiayaan acara perpisahan dibebankan kepada orang tua. Kalaupun diserahkan kepada pihak sekolah, pihak sekolah pun bingung anggaran dari mana, karena terbatasnya pembiayaan pendidikan dari negara. Apalagi setelah terjadi pemangkasan anggaran pendidikan. 

Berbeda dengan sistem Islam, penyelengaraan pedidikan menjadi tanggung jawab negara. Seluruh ruang lingkup pendidikan berada dalam riayah (urusan) negara. Negara akan hadir untuk memastikan seluruh masyarakat bisa meraih pendidikan dengan mudah, di wilayah manapun berada dan apapun statusnya. Negara dalam Islam menjamin terpenuhi pendidikan karena negara sebagai pengurus dan pendidikan dianggap sebagai kemaslahatan umum yang harus ada pada masyarakat.

Rasulullah saw. bersabda, "Khalifah (imam/pemimpin) adalah pengurus urusan rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap urusan mereka." (HR Bukhari).

Dalam islam perayaan perpisahan siswa sekolah adalah wujud penghargaan kepada siswa sebagai reward atas upaya mereka dalam berjuang dalam belajar. Tidak masalah dilakukan selama tetap dalam koridor hukum syara. Ketika akan dilaksanan tidak untuk membebani orang tua tapi sudah satu paket dengan penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat.
 
Pada masa Kekhalifahan Islam, terdapat sejumlah institusi pendidikan Islam yang telah berkembang dari masa lalu hingga sekarang. Meskipun beberapa di antaranya hanya dikenal melalui namanya, institusi-institusi ini pernah mencapai puncak kejayaan dan menjadi simbol kemegahan peradaban Islam. Contohnya adalah Nizhamiyah (1067 - 1401 M) yang berada di Baghdad, Al-Azhar (975 M - kini) di Mesir, Al-Qarawiyyin (859 M - kini) yang terletak di Fez, Maroko, serta Sankore (989 M - kini) di Timbuktu, Mali, Afrika. Setiap lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju pada zamannya. Banyak dari institusi tersebut melahirkan tokoh-tokoh besar pemikir dan ilmuwan Muslim yang dihormati, seperti al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, Al-Khawarizmi, dan al-Firdausi.

Jika ada yang bertanya dari mana uang anggaran pendidikan didapatkah oleh kekhilafahan? Maka Dalam buku karya Syekh Abdul Qadim Zallum yang berjudul Sistem Keuangan dalam Islam, dijelaskan mengenai sumber-sumber pendapatan Baitulmal dalam negara Islam yang digunakan untuk mendanai pendidikan. Pertama, terdapat pos fai dan kharaj yang menjadi milik negara, seperti ganimah, jizyah, khumus, dan dharibah (pajak). Kedua, ada harta milik umum, yang mencakup hutan, laut, tambang, migas, serta hima (milik umum dengan penggunaan yang spesifik). Jauh sebelum munculnya berbagai problem pembiayaan pendidikan yang hari ini muncul, Islam telah menyajikan konsep dan metode praktik dalam mengurai berbagai masalah dalam dunia pendidikan. Tentu saja hal ini karena sistem Islam tidak hanya sebatas agama yang mengatur aspek situal namun Islam memiliki konsep yang jelas dalam mengatur kehidupan bermasyarakat termasuk dalam hal ini pendidikan.

Untuk itu butuh kepemimpinan islam sebagai solusi atas permasalahan yang ada, karena dalam islam pemerintah akan menjalankan fungsinya sebagai periayah umat tak luput terkait pendidikan. Fasilitas terbaik akan diberikan bukan saja saat berada disekolah namun ketika sudah dijenjang kelulusan setiap individu akan diberikan penghargaan atas upaya semasa menempuh pendidikan dan negara tidak akan memungut biaya kepada rakyatnya. Hal itu tentu saja akan dapat terealisasikan ketika sistem yang dianut adalah sistem islam tentunya dalam bingkai khilafah Islamiyah. 
Waallahu a'lam bishawab..
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT