Persoalan dugaan pencemaran lingkungan yang melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh, PT PEMA, kian menyeruak ke permukaan. Temuan terbaru dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Gakkum KLHK RI) kembali mengindikasikan adanya pelanggaran lingkungan serius dalam aktivitas perdagangan sulfur di Pelabuhan Langsa.
Namun, alih-alih mengambil tindakan tegas, Dinas Lingkungan Hidup Kota Langsa (DLHK) justru dinilai pasif dan terkesan melakukan pembiaran. Hingga kini, tidak ada teguran atau tindakan hukum yang dijatuhkan terhadap PT PEMA, meskipun temuan KLHK mengindikasikan adanya pelanggaran yang berpotensi mencemari lingkungan.
DLHK Langsa Bungkam, Temuan KLHK Dituding Hoaks?
Alih-alih menjawab secara profesional, Kepala DLHK Kota Langsa, Ade Putra Siregar, justru memberikan respons yang dinilai tidak mencerminkan transparansi dan tanggung jawab publik. Saat dikonfirmasi oleh awak media terkait kebijakan dinasnya terhadap dugaan pencemaran sulfur, ia hanya menjawab singkat dengan nada meremehkan:
"Ngapain Abang tanya sama saya... kalau pemberitaan tidak seimbang... lucu ya."
Sikap Kepala DLHK Langsa ini memicu kecurigaan publik. Bagaimana mungkin seorang pejabat yang bertanggung jawab atas perlindungan lingkungan justru mengabaikan temuan KLHK dan tidak memberikan klarifikasi substantif? Apakah DLHK Langsa secara tidak langsung sedang mempertanyakan kredibilitas laporan Kementerian Lingkungan Hidup dengan menganggapnya tidak sahih?
Senator Aceh Geram: Pemerintah Harus Bertindak Profesional!
Ketidakjelasan sikap DLHK Langsa turut menuai reaksi keras dari berbagai pihak. Senator Aceh, Sudirman alias Haji Uma, mendesak semua pihak, termasuk pemerintah daerah dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), untuk bertindak profesional dan menegakkan aturan lingkungan hidup secara ketat.
"Dinas Lingkungan Hidup Kota Langsa harus bekerja menjaga lingkungan agar tidak menyalahi prosedur dan aturan," tegas Haji Uma.
Lebih lanjut, ia menyoroti peran BPMA yang juga tidak lepas dari tanggung jawab dalam pengelolaan sulfur ini. Menurutnya, surat dari Kementerian Lingkungan Hidup yang mengungkap adanya cacat prosedural dalam pengelolaan sulfur bukan sekadar teguran biasa, melainkan indikasi pelanggaran serius terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sampai Kapan Pembiaran Ini Terjadi?
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: Apakah Pemerintah Kota Langsa dan Direktur BPMA yang baru memiliki keberanian untuk menindak pelanggaran yang telah disorot oleh KLHK?
Ataukah ini hanya akan menjadi episode lain dari lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, di mana regulasi hanya menjadi formalitas sementara pencemaran terus dibiarkan terjadi?
Waktu akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti: publik berhak atas lingkungan yang sehat, dan pengabaian terhadap temuan Kementerian Lingkungan Hidup adalah bentuk kegagalan yang tidak bisa ditoleransi. (R)