Lonjakan Harga Menjelang Ramadhan, Akankah Tradisi Ini berakhir?


author photo

7 Mar 2025 - 18.21 WIB



Oleh: Ferdina Kurniawati 
(Aktivis Dakwah)

Menjelang bulan suci Ramadhan, harga sejumlah bahan pokok di Pasar Segiri, Samarinda, mengalami lonjakan signifikan. Kenaikan harga ini mulai terasa sejak awal pekan, memaksa pedagang dan pembeli menghadapi harga yang semakin tinggi.
Di beberapa pasar, seperti Pasar Segiri, Pasar Pagi, dan Pasar Sungai Dama pada Selasa (25/2/2025), menunjukkan tren yang mengkhawatirkan(Kompas.com).
Harga cabai melonjak dari Rp 70.000 menjadi Rp 90.000 per kilogram, sementara bawang merah naik dari Rp 32.000 menjadi Rp 42.000 per kilogram. Telur ayam juga mengalami kenaikan, dari Rp 50.000 menjadi Rp 60.000 per papan.
Ayam potong tetap stabil di Rp 25.000 per kilogram, cabai merah bertahan di Rp 55.000 per kilogram, dan daging sapi masih dijual seharga Rp 120.000 per kilogram. Di sisi lain, harga beras mengalami kenaikan tajam, dengan harga 25 kilogram kini mencapai Rp 480.000 per karung.

Antisipasi Negara Gagal
Kenaikan ini sebenarnya sudah menjadi tradisi. Siklus tahunan kenaikan bahan pokok terjadi nyaris setiap Bulan Ramadhan maupun Idul Fitri. Anehnya, keluhan masyarakat seakan angin lalu. Langkah antisipasi pemerintah tetap tidak mampu menahan laju kenaikan bahan pokok. Skenario stabilisasi harga dan pemastian ketersediaan kebutuhan pokok di pasar pun tidak mampu menghentikan laju kenaikan harga di pasar.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, berlaku hukum permintaan dan penawaran yang sifatnya saling berlawanan. Adam Smith peletak dasar ekonomi kapitalisme membagi harga menjadi dua bagian, yaitu harga alamiah (natural price) dan harga pasar (market price). 
Menurut Adam Smith, ketika permintaan barang di pasar lebih tinggi dari pasokannya, tidak semua permintaan itu dengan harga alamiahnya dapat terpenuhi. Akibatnya, sebagian mereka berupaya mendapatkan barang dengan menawarkan harga yang lebih tinggi. Secara otomatis, harga pasar barang itu pun naik melebihi harga alamiahnya.
Di sisi lain, ketika terjadi peningkatan permintaan di atas jumlah barang yang beredar di pasar, harga barang tersebut akan naik, demikian juga faktor-faktor produksinya. Kenaikan permintaan itu akan mendorong produsen untuk meningkatkan jumlah pasokan barang hingga harga-harga kembali normal. Demikianlah siklus yang terjadi secara berulang.
Besarnya kenaikan permintaan dari masyarakat menjelang Nataru jelas memicu gejolak harga. Oleh karenannya, pemerintah bergerak dengan mendorong langkah stabilisasi harga bahan pokok untuk mengantisipasi tren kenaikan menjelang Nataru. Selain itu, untuk mengintervensi laju kenaikan harga, pemerintah juga melakukan sidak sebagai langkah antisipasi dan memastikan ketersediaan stok bahan pokok kebutuhan masyarakat.  

Sayangnya, langkah antisipasi tersebut tidak jua mampu menghalangi laju kenaikan harga. Dalam banyak kasus, intervensi ini berdampak pada penimbunan, monopoli harga, hingga praktik pasar gelap di masyarakat. 
Memang benar bahwa pemerintah telah memastikan ketersediaan bahan pokok. Akan tetapi, aspek distribusi stok bahan pokok tersebut tetap kembali pada daya beli masyarakat. Pemerintah juga mengeklaim bahwa stok kebutuhan pokok aman, tetapi kenaikan harga-harga di pasar menjadi pertimbangan bagi daya beli masyarakat. Di sinilah “hukum rimba” ala ekonomi kapitalisme bekerja. 
Lantas, bagaimana agar harga tetap stabil? Inilah yang membutuhkan pembahasan komprehensif dan sistemis, dalam hal ini Islam.

Solusi Islam
Dalam sistem Islam, pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat merupakan tanggung jawab negara. Kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal fitrah yang menuntut adanya pemenuhan secara pasti. Atas dasar itu, negara menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari pelayanannya terhadap rakyat.
Negara juga berkewajiban menjaga transaksi ekonomi rakyat agar jauh dari hal yang melanggar syariat. Oleh karenanya, terdapat sejumlah skenario yang berpijak pada syariat dalam memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan saat kondisi permintaan sedang tinggi.
Pertama, pemenuhan kebutuhan secara fitrah.
Sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan hari ini menyuguhkan fakta minimnya peran negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara mencukupkan diri sebagai fasilitator kebijakan, tetapi luput dalam memastikan tercukupinya kebutuhan rakyat, individu per individu. Walhasil, rakyat sendirilah yang berjibaku dalam memenuhi seluruh kebutuhannya.
Sementara itu, sistem Islam yang menjalankan politik ekonomi Islam akan memosisikan negara sebagai pengurus (raa’in) rakyatnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, dan papan) individu per individu serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Politik ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia. Pendanaannya bersumber dari baitulmal. Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini bersifat harian dan tidak hanya untuk kaum muslim, melainkan juga nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah. Hak keduanya tanpa perbedaan. 

Dengan sendirinya, pemenuhan kebutuhan ini tetap berjalan, bahkan pada saat rakyat menyambut hari-hari besar. Artinya, negara bertanggung jawab dalam distribusi berbagai barang kebutuhan masyarakat.
Kedua, mengantisipasi penimbunan.
Penimbunan secara mutlak haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang. Diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin Al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.” Jadi, larangan dalam hadis tersebut berfaedah tuntutan untuk meninggalkan penimbunan.
Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan menyifati dirinya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’) adalah indikasi haramnya melakukan penimbunan. Al-muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga menyulitkan masyarakat untuk membelinya. Jika barang tersebut tidak ada, kecuali pada di penimbun, negara bertanggung jawab untuk menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu, tidak seorang pedagang pun bisa mengendalikan dan memonopoli harga di pasar, baik pada hari biasa maupun hari-hari besar.
Adapun jika terjadi kenaikan harga ataupun barang tidak tersedia di pasar pada masa peperangan atau krisis politik, hal itu bisa karena dua sebab, yakni adanya penimbunan ataupun kelangkaannya. Jika ketiadaannya adalah akibat penimbunan, sungguh hal itu telah Allah haramkan sehingga akan ada sanksi atasnya. Jika ketiadaannya adalah akibat dari kelangkaan, Khalifah wajib menyediakan barang di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempat.
Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab pada masa paceklik kala terjadi kelaparan di Hijaz akibat kelangkaan makanan. Beliau mengirim surat dan mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga kebutuhan masyarakat Hijaz bisa terpenuhi. 
Inilah bentuk perlindungan negara dalam mencukupi kebutuhan rakyat dan melindungi ekonomi negara, serta membebaskan pasar dari monopoli segelintir orang.
Bagikan:
KOMENTAR