Danantara, Investasi Raksasa Berujung Efisiensi Anggaran


author photo

11 Mar 2025 - 11.19 WIB




Noura (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) oleh Presiden RI Prabowo Subianto menandai babak baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Sebagai sovereign wealth fund (SWF) atau dana kekayaan negara, Danantara digadang-gadang akan menjadi salah satu yang terbesar di dunia, dengan aset yang dikelola mencapai 900 miliar dolar AS (sekitar Rp 14.665 triliun) dan dana awal sebesar 20 miliar dolar AS (sekitar Rp 326 triliun).

Danantara disebut akan membiayai proyek-proyek berkelanjutan dan berdampak tinggi di berbagai sektor, seperti energi terbarukan, manufaktur canggih, industri hilir, dan produksi pangan. Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Basuki Hadimuljono berharap bahwa badan ini dapat mempercepat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

Dibalik kemegahan angka-angka tersebut, terdapat berbagai tanda tanya besar. Mengapa konsep ini dulu ditolak tetapi kini diterima? Siapa sebenarnya aktor di balik Danantara? Dan yang paling penting: benarkah rakyat akan merasakan manfaatnya, atau justru menjadi korban dari skema investasi berisiko tinggi?

Danantara: Investasi atau Perjudian dengan Uang Rakyat?

Danantara merupakan badan pengelola investasi negara yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Secara sederhana, Danantara bisa diibaratkan sebagai “bank investasi milik negara” yang mengelola dana dan aset strategis—termasuk dana dari ekspor sumber daya alam (DHE SDA) dan aset pemerintah dari berbagai kementerian—untuk diinvestasikan pada proyek-proyek berkelanjutan di luar APBN. 

Indonesia sebelumnya sudah memiliki SWF, yaitu Indonesia Investment Authority atau INA.
Muliaman Darmansyah Hadad selaku Kepala Danantara pada November 2024 lalu mengatakan INA akan dikonsolidasikan ke dalam Danantara. Harapan ke depannya, negara tidak lagi hanya bertumpu kepada APBN untuk menumbuhkan ekonomi sampai 7%, melainkan bisa dibantu kalau foreign direct investment lebih banyak masuk lewat proyek-proyek yang diinisiasi Danantara.

Investor-investor global diperkirakan akan tertarik dengan proyek-proyek Danantara. Pertama, karena badan itu juga akan berinvestasi sehingga ada pembagian risiko. Kedua, aset yang dikelola Danantara akan sangat besar sehingga ada faktor kredibilitas. Danantara dapat menjadi pintu masuk bagi investor untuk terlibat dalam proyek-proyek berkelanjutan dan inovatif.

Di satu sisi, pemerintah mengklaim bahwa Danantara akan mendukung pembangunan dan ekonomi nasional. Namun, di sisi lain, anggaran sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan justru mengalami efisiensi besar-besaran. 
Padahal, sektor-sektor ini tidak hanya berperan dalam pembangunan ekonomi jangka panjang, melainkan juga dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara langsung. Pemangkasan anggaran di sektor-sektor ini dapat memperlambat pencapaian tujuan pembangunan manusia, kesehatan, dan pendidikan. 

Pendidikan dan kesehatan yang diletakkan di lapis kedua dalam skala prioritas rezim ini menandakan pemerintah memandang bidang pendidikan dan kesehatan tidak lebih penting dari MBG dan kendaraan listrik. Padahal, kualitas pendidikan Indonesia masih buruk. Menurut hasil survei mengenai sistem pendidikan menengah di dunia pada 2018 yang dikeluarkan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) 2019, Indonesia berada di posisi ke-6 terendah yang mana peringkat ke-74 dari 79. Belum lagi masalah fasilitas pendidikan yang belum merata, kesejahteraan guru yang masih minim, hingga kurikulum yang sering berganti. 

Demikian pula kesehatan, mulai dari sulit menjangkau fasilitas kesehatan berkualitas (terutama di daerah terpencil), keterbatasan infrastruktur, minimnya tenaga medis yang tersedia, kelangkaan fasilitas medis yang memadai, dan lain-lain. Ini mengindikasikan ketimpangan dalam prioritas kebijakan ekonomi—di mana investasi lebih diutamakan dibanding kesejahteraan rakyat.

Belum lagi adanya peluang korupsi. Pakar ekonomi Anthony Budiawan, dalam analisisnya di Infobanknews, menyebutkan bahwa sovereign wealth fund seperti Danantara memiliki risiko tinggi jika tidak dikelola dengan transparansi dan tata kelola yang baik. Sejarah mencatat bahwa beberapa SWF di negara lain mengalami kegagalan, seperti Malaysia Development Berhad (1MDB) yang justru menjadi skandal korupsi terbesar di Malaysia.
Indonesia sendiri memiliki pengalaman buruk dalam pengelolaan dana investasi negara, seperti kasus Jiwasraya dan Asabri, di mana dana publik yang dikelola untuk investasi justru merugi dan rakyat yang menjadi korban. Jika Danantara tidak dikelola dengan hati-hati, bukan tidak mungkin nasibnya akan serupa.

Siapa yang Diuntungkan?
Keberadaan Danantara juga memunculkan pertanyaan tentang siapa yang benar-benar akan menikmati keuntungannya. Salah satu nama yang muncul dalam kaitan dengan Danantara adalah Hashim Djojohadikusumo, saudara kandung Presiden Prabowo. Dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia, Hashim menyebut bahwa konsep Danantara merupakan gagasan yang sudah ada sejak lama dan kini akhirnya terwujud. Fakta ini semakin memperkuat indikasi bahwa kebijakan ekonomi negara berada dalam kendali segelintir elite oligarki.

Kehadiran tokoh-tokoh dari lingkaran kekuasaan dalam proyek sebesar ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan dominasi oligarki dalam kebijakan ekonomi. Apakah Danantara benar-benar ditujukan untuk kepentingan nasional, ataukah hanya akan menjadi alat bagi segelintir elite untuk memperkaya diri?
Ekonom senior Faisal Basri pernah mengkritik bahwa model investasi yang terlalu bergantung pada SWF dapat berisiko menguntungkan kelompok tertentu saja, sementara masyarakat luas hanya menjadi penonton. Dengan kata lain, Danantara bisa saja menjadi kendaraan bagi oligarki untuk menguasai sumber daya ekonomi Indonesia.
Berdasarkan masterplan yang telah disusun, investasi hilirisasi hingga 2040 membutuhkan US$618 miliar di 28 komoditas, antara lain di sektor kehutanan, perikanan, pertanian, perkebunan, serta pertambangan dan gas.
Pada saat yang sama, BUMN-BUMN yang dikelola Danantara mencakup berbagai industri, mulai dari energi, infrastruktur, hingga sektor finansial. Perinciannya antara lain Bank Mandiri, BRI, BNI, Pertamina, PLN, Telkom, dan MIND ID.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia lalu mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar sebagian dana dari Danantara diinvestasikan untuk sektor hilirisasi. Jika benar disetujui dan direalisasikan pada berbagai proyek hilirisasi, siapakah yang sebenarnya akan menikmati dana yang dikelola Danantara?

Hilirisasi dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas tertentu yang bertujuan agar manfaatnya lebih merata bagi masyarakat dan negara. Selain itu, peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Diharapkan juga bahwa dampak positifnya akan menggerakkan sektor ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi barang dan jasa.
Kemudian, pendapatan negara diharapkan meningkat sehingga anggaran untuk peningkatan kesejahteraan rakyat juga dapat ditingkatkan. Namun kenyataannya, pelaksanaannya tidak selalu sebaik seperti yang diharapkan dalam teori. Banyak tenaga kerja di perusahaan-perusahaan smelter justru berasal dari Cina. Pada kasus hilirisasi barang tambang nikel, konsesi lahannya bukan diberikan kepada BUMN, melainkan kepada perusahaan Cina yang mendapat keuntungan luar biasa dari penetapan harga yang dipatok pemerintah, jauh di bawah harga pasar.
Klaim bahwa hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah nikel karena tidak dijual dalam bentuk ore (bijih mentah) sehingga meningkatkan pendapatan dari pajak dan royalti, sebenarnya hanya praktik penghisapan terhadap penambang domestik. Keuntungan investor asing masih ditambah pula dengan pemberian tax holiday 20 tahun dan pajak bea masuk nol rupiah.

Walhasil, jika dana yang dikelola Danantara diperuntukkan untuk menyukseskan program hilirisasi 28 komoditas unggulan yang dicanangkan pemerintah, sudah dapat ditebak perusahaan mana yang akan dapat kucuran dana. 
Perspektif Ekonomi Islam
Ekonomi Islam mengelola harta rakyat untuk kesejahteraan rakyat, bukan dikembangkan untuk investasi. Dalam kitab Struktur Negara Khilafah yang di tulis oleh Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, disebutkan ada salah satu struktur Negara Daulah Khilafah Islam, yakni Departemen Kemaslahatan Rakyat, yang bertugas memastikan seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi dan terlayani tanpa terkecuali. 

Pendanaan atas pelayanan terhadap kebutuhan rakyat sepenuhnya dibiayai negara melalui baitulmal, dari harta rakyat yang dikumpulkan dan dikelola sesuai syariat Islam.
Tidak ada satu pun departemen di dalam Daulah Islam yang ditugasi untuk melakukan investasi dan mengembangkan harta umat agar dapat maksimal melakukan pemenuhan masyarakat, melainkan keseluruhan dana yang masuk dikelola sesuai ketentuan yang telah ditetapkan syarak. Bahkan baitulmal justru dapat memberi stimulus ekonomi kepada masyarakat dengan memberi pinjaman tanpa bunga bahkan memberi modal bisnis secara cuma-cuma.

Ini bukan berarti di dalam pemerintahan Islam tidak ada mekanisme investasi untuk mengembangkan dana. Pasar syariah dibuka lebar yang mana masyarakat dapat melakukan transaksi dalam berbagai bidang ekonomi, seperti perdagangan, ketenagakerjaan, pertanahan, industri, pertanian, dan jasa-jasa. Masyarakat dapat menjadi investor (shahibul mal) dalam bidang sumber daya ekonomi (SDE), tetapi terlarang masuk ke SDE umum (milik publik). Ini karena SDE umum adalah milik masyarakat sepenuhnya yang akan dikelola negara untuk mendapatkan keuntungannya bagi kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, swasta tidak bisa mengakses migas, logam dan batu bara, laut, hutan, dll. yang karakternya memang adalah SDE milik bersama yang memiliki deposit besar dan tidak boleh dikuasai individu.
Namun, penerapan sistem ekonomi Islam tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan sistem politik yang juga berlandaskan syariat, di mana pemimpin bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai perpanjangan tangan oligarki. Hal ini hanya dapat terwujud dalam sistem Islam slam, di mana seluruh kekayaan negara benar-benar digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Bagikan:
KOMENTAR