Oleh : Syarif Al Dhin
Jakarta – Malam itu, langit di ibu kota tampak kelabu. Di sebuah ruangan sederhana dekat masjid kecil di Istana Negara, Agus Rahardjo duduk dengan gelisah. Ia dipanggil secara mendadak oleh Presiden Joko Widodo. Tidak seperti biasanya, kali ini ia hanya seorang diri, tanpa didampingi pimpinan KPK lainnya.
Begitu ia masuk, suara Jokowi menggema di ruangan. "Hentikan!" Suara itu terdengar tegas, bahkan marah. Agus terdiam sejenak, mencoba memahami maksud Presiden.
"Apa yang harus dihentikan, Pak?" tanyanya dengan hati-hati.
Jokowi menghela napas panjang. Di sampingnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno duduk dengan ekspresi serius. Agus mulai menyadari bahwa pertemuan ini bukan sekadar pertemuan biasa.
"Kasus e-KTP. Setya Novanto. Jangan diteruskan," kata Presiden akhirnya.
Agus menelan ludah. Ia tahu kasus ini besar, melibatkan uang triliunan rupiah dan tokoh-tokoh penting di negeri ini. Tapi, ia juga tahu satu hal: KPK tidak bisa menghentikan penyidikan begitu saja.
"Pak, sprindik (Surat Perintah Penyidikan) sudah keluar sejak tiga minggu lalu. Kami tidak bisa menghentikannya. KPK tidak punya wewenang SP3," jawab Agus, berusaha tetap tenang.
Jokowi tampak berpikir. Matanya menatap tajam ke arah Agus. "Cari jalan lain," katanya singkat.
Di dalam hatinya, Agus tahu, ini bukan sekadar permintaan biasa. Ini adalah ujian terbesar bagi integritasnya sebagai pimpinan KPK.
*Kesaksian yang Menggegerkan*
Tahun-tahun berlalu. Kasus e-KTP terus bergulir hingga akhirnya Setya Novanto dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Namun, cerita di balik layar baru terungkap bertahun-tahun kemudian.
Dalam sebuah wawancara, Agus Rahardjo akhirnya berbicara. Ia menceritakan bagaimana dirinya pernah diminta untuk menghentikan penyelidikan. Pengakuan ini mengejutkan banyak pihak, terutama mereka yang masih percaya bahwa pemerintah benar-benar serius memberantas korupsi.
Tidak hanya Agus, mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan juga mengaku pernah mendengar isu ini saat berada di Singapura. Bahkan, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata turut membenarkan cerita tersebut.
Masyarakat pun mulai bertanya-tanya: Apakah benar ada upaya melindungi koruptor di tingkat tertinggi?
*Sebuah Konspirasi yang Terungkap?*
Jika benar ada tekanan untuk menghentikan penyidikan, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar?
Banyak pihak mulai menghubungkan kejadian ini dengan peristiwa lain, seperti:
- Revisi UU KPK yang melemahkan independensi lembaga antirasuah.
- Pemecatan 57 pegawai KPK yang dianggap terlalu kritis.
- Banyaknya menteri Jokowi yang terjerat kasus korupsi.
Mungkinkah semua ini adalah bagian dari sebuah skenario besar untuk melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia?
*Menunggu Jawaban dari Istana*
Sampai saat ini, Istana masih bungkam. Tidak ada tanggapan resmi dari Presiden Jokowi terkait pengakuan Agus Rahardjo.
Sementara itu, masyarakat semakin geram. Mereka menuntut transparansi dan kejelasan: Apakah benar Presiden pernah berusaha melindungi koruptor?
Jika tuduhan ini benar, maka ini bisa menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah politik Indonesia.
Namun, jika tidak benar, mengapa pihak Istana memilih diam?
Misteri ini masih jauh dari selesai. Apakah kebenaran akan terungkap, atau justru dikubur selamanya? (Red)
_Penulis adalah Kuli Tinta PPWI asal Kota Palopo_