9.000 Tenaga Bakti Sukarela dan Non-ASN di Aceh Utara Menuntut Kepastian Status dan Kesejahteraan


author photo

5 Feb 2025 - 23.56 WIB




Lhoksukon, Aceh Utara – Pada Rabu, 5 Februari 2025, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara, Arafat Ali, menyuarakan desakan tegas kepada pemerintah untuk mengalokasikan Dana Alokasi Umum (DAU) guna menyelesaikan masalah yang telah lama mengganjal: status dan kesejahteraan 9.000 tenaga bakti sukarela (TBS) dan non-ASN di Aceh Utara yang belum diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Aspirasi ini muncul dari realitas bahwa lebih dari sembilan ribu tenaga kerja yang telah lama mengabdi di sektor kesehatan belum memperoleh kejelasan status kepegawaian, meskipun kontribusi mereka telah terasa signifikan sejak bertahun-tahun lalu. Arafat Ali menegaskan bahwa, "Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Saya mendesak agar sebagian dari dana ini dialokasikan untuk menyelesaikan masalah tenaga bakti sukarela dan non-ASN ini."

Pernyataan tersebut menunjukkan urgensi masalah ini dan perlunya solusi finansial yang lebih substansial, mengingat skala persoalan yang melibatkan ribuan tenaga kerja. Bukan hanya sebuah keluhan administratif, tetapi sebuah peringatan keras mengenai ketidakpastian status pekerja yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum dan kesejahteraan yang layak.

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan tenaga bakti sukarela dan non-ASN, M. Yasir mengutarakan tiga tuntutan utama mereka yang menyoroti ketidakadilan yang telah berlangsung terlalu lama:

1. Pengakuan dan Pendataan: Meminta agar Badan Kepegawaian Negara (BKN) Pusat mengakui dan mendata mereka sebagai tenaga non-ASN yang sah dalam database nasional, yang akan menjadi dasar pengakuan atas hak mereka sebagai tenaga kerja.


2. Pemutihan Menjadi ASN/PPPK: Menuntut pengangkatan mereka menjadi ASN atau PPPK tanpa perlu menjalani proses seleksi, mengingat mereka telah mengabdi selama hampir dua dekade tanpa penghargaan yang sebanding.


3. Pembagian Jasa Pelayanan yang Sama: Mereka menuntut agar pelayanan yang mereka berikan setara dengan yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), mengingat kontribusi yang tidak kalah pentingnya terhadap sistem kesehatan di daerah tersebut.



Permintaan ini bukan sekadar bentuk aspirasi, melainkan panggilan mendalam untuk menegakkan keadilan bagi para tenaga kesehatan yang telah berjuang tanpa penghargaan yang layak. Mereka telah setia mengabdi selama hampir 20 tahun, namun tidak mendapatkan status yang jelas atau hak yang setara dengan pegawai negeri lainnya.

Sementara itu, pemerintah daerah, meski mengakui adanya kesulitan dalam mengalokasikan dana untuk membayar gaji dan tunjangan PPPK, tetap berjanji untuk mencari solusi terbaik. Namun, janji tanpa tindakan konkret hanya akan memperburuk keadaan. Pemerintah harus mampu memperlihatkan keberanian untuk menyelesaikan persoalan ini dengan pengalokasian anggaran yang jelas dan tepat sasaran.

Penting untuk dicatat, bahwa penuntutan hak ini bukan hanya sekadar masalah administratif, tetapi menyangkut martabat dan kesejahteraan ribuan orang yang selama ini menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan masyarakat di Aceh Utara. Jika pemerintah terus mengabaikan persoalan ini, maka akan timbul pertanyaan besar mengenai komitmen mereka terhadap kesejahteraan tenaga kesehatan, yang pada akhirnya dapat merugikan kualitas layanan publik itu sendiri.

Aspirasi ini mengingatkan kita akan tanggung jawab negara dalam menghargai setiap pengabdian dan kontribusi warga negaranya. Tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk menunda pemenuhan hak-hak mereka yang telah berjasa tanpa pamrih. Pemerintah daerah dan pusat harus segera mengambil langkah nyata dan berani untuk memberikan kepastian status serta kesejahteraan yang layak bagi tenaga kesehatan non-ASN dan bakti sukarela ini. Sebab, keadilan tidak bisa ditunda lebih lama lagi.(ML)
Bagikan:
KOMENTAR