Oleh: Indah Sari, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)
Petisi menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan diberlakukan awal tahun 2025 yang ditandatangani lebih dari 113.000 orang telah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu dilakukan pada aksi damai di depan Istana Negara. (BeritaSatu, 20/12/2024)
Risyad Azhary perwakilan massa aksi petisi mengatakan respon yang diterima Setneg sebatas administratif. Sehingga petisi penolakan kenaikan PPN 12% dari 113.000 orang diserahkan secara online kepada pihak Sekretariat Negara. Namun sebelum diterima, massa yang hadir sempat dihadang 820 personel kepolisian yang berjaga dengan alasan keamanan.
Kebijakan menaikkan PPN 12% yang mendapat penolakan dari masyarakat merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR tanggal 7 Oktober 2021. UU ini awalnya merupakan inisiatif pemerintahan Jokowi yang sejak memerintah sudah secara masif menjalankan reformasi perpajakan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga menyampaikan, kenaikan tarif PPN sebesar 12% tersebut dinilai dapat meningkatkan pendapatan negara sehingga dapat mendukung program prioritas pemerintahan Prabowo pada bidang pangan dan energi. (BeritaSatu, 16/12/2024)
Termasuk menopang program makan bergizi gratis karena memerlukan pendanaan dengan jumlah yang besar. Pada tahun 2025, alokasi anggaran program tersebut mencapai Rp 71 triliun dalam APBN 2025.
Pemerintah tetap berkomitmen menjaga inflasi sesuai target (APBN) 2025, yaitu kisaran 1,5% hingga 3,5%. Sebagai upaya mengurangi beban masyarakat, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah langkah kompensasi melalui berbagai paket stimulus ekonomi.
Langkah tersebut mencakup pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh sektor tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu.
Beban yang Ditanggung Rakyat
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menyebut tingkat perekonomian Indonesia dalam kondisi yang sangat buruk. Beberapa paket kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah tidak akan efektif mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha. Mengapa demikian?
Kompensasi kenaikan PPN 12% hanya berlaku dalam jangka pendek, semisal diskon listrik 50% hanya berlaku dua bulan saja dengan kriteria tertentu. Tidak hanya itu bansos dibagikan untuk pemenuhan kebutuhan sesaat dan setelahnya kembali ke tatanan semula.
Dalam sistem sekuler kapitalisme pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara dimana para penguasa membebani rakyat dengan berbagai pungutan. Untuk memperoleh pemasukan aneka tarif dan pajak akan dibuatkan kebijakan. Diantaranya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Posisi negara hari ini bertindak sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi yang berbasis kapitalis. Oleh sebab itu pemerintah memberatkan masyarakat kecil karena lebih mudah dipungut dibandingkan pajak dari perusahaan besar atau kelas atas.
Disisi lain Sumber Daya Alam (SDA) tidak lagi menjadi sumber utama pendapatan negara, karena pengeloaan tidak dilakukan secara mandiri melainkan ada campur tangan dari pihak asing. Dalam hal ini penguasa bermaksud memberikan perlindungan terhadap pemilik modal melalui insentif pajak yang ditujukan kepada masyarakat menengah karena tidak memiliki daya tawar politik yang kuat. Berbeda dengan kelas atas sering mendapat keringanan dan bahkan lolos dari kewajiban pajak.
Dalam hal ini pajak bisa dikatakan bentuk “pemalakan” kapada rakyat dengan klaim upaya meningkatkan ekonomi negara. Nyatanya kebijakan ini tidak sama sekali berpihak kepada rakyat melainkan kepentingan para kapilatis yang sangat rakus. Mereka memakan gaji hasil keringat rakyat dengan tuntutan pajak, namun mirisnya kinerja penguasa sangat jauh dari kata amanah dan adil.
Wajar jika dalam sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan tidak mengenal prinsip halal dan haram. Sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang zalim tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
Penguasa dalam Islam Mewujudkan Kesejahteraan
Islam memandang pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin laksana penggembala. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Imam itu adalah laksana penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.).
Layaknya seorang penggembala (raa’in), pemimpin itu melayani, menuntun, mengarahkan, menjamin, dan membantu terpenuhinya kebutuhan gembalaannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kiasan ini digambarkan Rasulullah saw dalam makna bahwa pemimpin laksana penggembala yang bertanggung jawab atas rakyat yang percaya kepadanya untuk mengurus kebutuhan mereka.
Mengurus urusan rakyat (ri’ayah) berarti mengurus keperluan mereka yang kompleks dari beragam kebutuhan primer dan sekundernya, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Islam telah menetapkan bahwa kepengurusan atas kemaslahatan serta kesejahteraan rakyat berada ditangan penguasa (khalifah). Inilah tugas pokok negara, yakni ri’ayah asy-syu’un al-ummah (mengurus berbagai keperluan umat).
Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, dalam Islam telah ditetapkan sumber pemasukan negara yang terbagi dalam tiga pos pemasukan utama, yakni (1) pos kepemilikan umum (fasilitas/sarana-sarana umum, barang tambang yang tidak terbatas); (2) pos kepemilikan negara (fai, ganimah, khumus, kharaj, jizyah, tanah-tanah dan bangunan milik negara), ‘usyur (bea cukai), harta ghulul (haram) dan denda, khumus rikaz/barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad, pajak (dharibah); dan (3) pos zakat (zakat hewan unta, sapi, kambing), zakat tanaman dan buah-buahan [gandum, jewawut, kurma, dan kismis], zakat perdagangan, zakat nuqud [emas, perak, dan uang].
Selain itu dalam Islam juga dikenal adanya pemungutan pajak disebut “dharibah” yang tentunya berbeda dengan konsep pajak dalam sistem sekuler kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal.
Pendapatan ini bersifat sementara ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. Jadi, pemberlakuan pajak hanya akan ditarik dari warga negara muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu.
Semisal, pembiayaan jihad dan segala kebutuhannya seperti pembentukan pasukan, latihan militer, pengadaan peralatan militer yang canggih. Kemudian kondisi darurat terjadinya bencana alam dan pembiayaan kemaslahatan umat seperti gaji pegawai yang menjadi petugas pelayanan masyarakat dan ini bersifat wajib bagi negara menggaji mereka.
Apabila seluruh masalah telah teratasi, pemungutan pajak langsung dihentikan. Dengan demikian, rakyat tidak akan merasakan bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa sebagaimana hari ini.
Jika peraturan dalam sistem Islam yang diterapkan, tentu akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Allah Swt. berfirman, “Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36).
Wallahu a’lam bishawab.