Membela Palestina Tidak Cukup Dengan Retorika Belaka


author photo

4 Jan 2025 - 18.39 WIB




Oleh: Ainayya Nur Fauzih, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)

Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam forum KTT ke-11 Developing Eight Countries (D8) di Kairo, Mesir, adalah sebuah pengingat penting bagi negara-negara Muslim untuk tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap Palestina. Dalam forum internasional itu, seruan tersebut mempertegas bahwa solidaritas umat Islam harus diwujudkan secara nyata, baik melalui diplomasi, dukungan ekonomi, maupun aksi kemanusiaan. (dilansir dari rmol.id, 22/12/2024)

Saat pembicaraan penuh retorika itu berlangsung, Tindakan Presiden Türkiye, Recep Tayyip Erdogan, yang meninggalkan ruangan/walk out, menjadi sorotan publik. Menurut pandangan pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, memberikan perspektif kritis terhadap pidato Presiden Prabowo Subianto dalam KTT D-8. Meskipun seruan untuk persatuan negara-negara Islam adalah langkah positif, kritik bahwa pidato tersebut terkesan menggurui dan mengabaikan upaya negara-negara Muslim lainnya tidak boleh diabaikan. (dikutip dari mediaindonesia.com, 22/12/2024) 

Ajakan kepada pemimpin negeri-negeri Muslim anggota Development Eight (D8) untuk bersatu dan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah Palestina dinilai terdengar mulia. Namun, tujuan dari seruan tersebut disoroti sebagai bagian dari strategi politik populis untuk menarik dukungan umat Islam dengan berbicara tentang isu Palestina. 

Ajakan itu dianggap sebatas retorika karena tidak diiringi dengan paradigma pemikiran yang dapat menjadi dasar persatuan. Dengan realitas bahwa pemerintahan di dunia Islam dibangun atas konsep politik negara bangsa atau nasionalisme, penyusunan peta jalan persatuan dan kerja sama dipandang sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itu, persatuan yang diharapkan akan sulit dicapai tanpa perubahan mendasar dalam paradigma politik yang mendasarinya.

Nasionalisme, tidak memberikan ruang bagi persatuan yang berlandaskan akidah Islam. Bahkan cenderung menentangnya. Jika persatuan yang dimaksud adalah berdasarkan kepentingan bersama dalam kerangka nasionalisme atau kepentingan nasional (national interest), hal ini dianggap sangat sulit diwujudkan. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara bangsa di dunia Islam lahir di tengah perebutan pengaruh antara kekuatan adidaya, seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang menyebabkan instabilitas politik berkepanjangan.

Para pemimpin muslim sudah seharusnya mengerahkan pasukan militer mereka, bukan sekadar melontarkan kecaman atau pernyataan prihatin atas krisis di sana. Hari demi hari rakyat Palestina mengalami situasi peperangan yang tidak jelas kapan usainya. Satu-satunya yang bisa menghentikan arogansi Yahudi hanyalah jihad fii sabilillah yang diinisiasi oleh negeri-negeri muslim secara global. Inilah yang akan menggentarkan musuh. Jelas, pengiriman pasukan militer sesungguhnya urgen dan sangat dibutuhkan oleh Palestina.

Peran negara, khususnya yang memiliki kekuatan politik dan diplomatik, seharusnya lebih tegas dalam mengatasi genosida di Palestina. Tanpa langkah konkret seperti pengiriman pasukan, pembelaan terhadap Palestina akan tetap menjadi sekadar retorika yang hampa makna. Dukungan terhadap solusi dua negara, yang secara implisit mengakui perampasan tanah Palestina oleh rezim Zionis, menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak menawarkan kemerdekaan sejati bagi Palestina. Solusi ini hanya memperkuat status quo, di mana Palestina terus terfragmentasi, baik secara wilayah maupun politik, sementara penjajahan dan penindasan tetap berlangsung.

Solusi tuntas untuk mengakhiri penjajahan di Palestina tidak dapat dicapai melalui pendekatan parsial atau kompromi politik yang justru memperpanjang penderitaan rakyat Palestina, melainkan melalui jihad dan penerapan sistem Khilafah sebagai upaya kolektif umat Islam untuk menghadirkan keadilan yang komprehensif. 

Umat Islam di seluruh dunia memiliki tanggung jawab untuk membangun kesadaran bahwa solusi hakiki atas persoalan Palestina hanya dapat diwujudkan dengan memberdayakan kekuatan politik, militer, dan spiritual yang bersandar pada ajaran Islam secara utuh. 

Tanpa perjuangan aktif untuk memahamkan umat mengenai pentingnya persatuan dan penerapan syariat Islam dalam menghadapi penjajahan, setiap upaya akan berakhir sebagai langkah setengah hati yang gagal membebaskan Palestina dari cengkeraman penjajah dan mengembalikan kehormatan umat Islam di kancah global. 

Jika kesadaran umat terhadap solusi hakiki dapat terwujud, maka langkah strategis umat akan mengarah pada tuntutan kepada para penguasa Muslim untuk mengambil tindakan nyata, termasuk mengirimkan pasukan demi membela Palestina. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan keberadaan kelompok dakwah ideologis yang secara konsisten membangun kesadaran di kalangan umat, khususnya para pemuda Muslim, guna mendorong keberanian dan tekad mereka untuk mengusir Zionis dari tanah Palestina. Tanpa upaya sistematis ini, perjuangan pembebasan Palestina hanya akan menjadi harapan tanpa arah yang jelas.

والله أعلم بالصواب
Bagikan:
KOMENTAR