Jomplang Sekolah Terpadu Bertaraf Internasional Dengan Sekolah Tak Layak


author photo

4 Jan 2025 - 12.57 WIB


Oleh: Febriana Ramadhani A, S.Pd

Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie, menekankan bahwa di samping pembangunan sekolah terpadu bertaraf internasional yang dijadikan proyek percontohan oleh Pemkot Samarinda, perbaikan dan rehabilitasi sekolah-sekolah lain yang kondisinya memprihatinkan juga merupakan hal yang krusial dan harus diperhatikan. “Jangan sampai kita fokus pada pembangunan sekolah baru tetapi melupakan sekolah-sekolah yang saat ini kondisinya sudah tidak layak. Keduanya harus berjalan bersamaan,” ujarnya. 

Dengan kata lain, pembangunan sekolah bertaraf internasional jangan sampai mengenyampingkan kebutuhan sekolah-sekolah lain yang memerlukan perbaikan. Namun, ia mengakui bahwa keterbatasan anggaran menjadi tantangan utama. 

Dengan total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sekitar Rp5 triliun, alokasi untuk sektor pendidikan baru mencapai sekitar Rp900 miliar. Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia, khususnya di Samarinda.

Pendidikan yang tidak merata akan menghasilkan disparitas kualitas yang besar antara sekolah-sekolah yang baik dan yang tidak layak. Akibatnya, banyak anak-anak yang terhalang untuk mengakses pendidikan berkualitas hanya karena faktor infrastruktur yang buruk. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam kesempatan belajar yang berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan.

Dalam jangka panjang, ketimpangan ini akan mempengaruhi daya saing dan kualitas generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, selain infrastruktur fisik yang memadai, pengembangan sistem pendidikan yang lebih baik juga harus menjadi perhatian utama, seperti kurikulum yang relevan dan kualitas guru yang mampu menghadapi tantangan zaman.

Selain itu, anggaran pendidikan yang hanya sekitar 18% dari total APBD menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih kurang mendapatkan prioritas yang layak. Padahal, pendidikan adalah kunci utama untuk membangun generasi emas yang akan membawa perubahan positif bagi bangsa.

Tiap tahun alokasi anggaran pendidikan selalu mengalami kenaikan. Namun, naiknya anggaran pendidikan dari tahun ke tahun masih belum menjawab problem pendidikan dari sisi penyediaan sarana prasarana yang dapat dirasakan pemanfaatannya. 

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sepanjang 2019-2024 anggaran pendidikan selalu naik, dari Rp492,45 triliun (2019) hingga Rp581,8 triliun (2024). Namun, realisasi serapan anggaran tidak mencapai 100%. Sebagai contoh, anggaran pendidikan pada 2019 sebesar Rp492,45 triliun terealisasi sebanyak 93,48%;  pada 2022 sebesar Rp621,28 triliun terealisasi 77,3%; pada 2023 sebesar Rp645,25 triliun terealisasi 79,56%. Pada RAPBN 2025, anggaran pendidikan direncanakan naik menjadi Rp722,6 triliun.

Jika mencermati data tersebut, kenaikan anggaran tidak sebanding dengan realisasi serapan yang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini tampak dari temuan Banggar DPR, dari total anggaran pendidikan APBN 2022, sekitar Rp111 triliun tidak terserap dengan baik. Angka sebesar ini sesungguhnya mampu menyejahterakan guru honorer dan memperbaiki sekolah yang saat ini kondisinya sudah tidak layak.

Masalah penyerapan anggaran yang buruk bukan disebabkan oleh besarnya anggaran pendidikan, melainkan oleh tata kelola yang buruk dan implementasi yang lemah di lapangan. Lebih lanjut, peningkatan anggaran pendidikan setiap tahunnya belum berdampak positif secara signifikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Meskipun anggaran terus meningkat, masalah-masalah klasik seperti biaya pendidikan yang mahal, rendahnya tingkat literasi dan kemampuan sains siswa, gaji guru honorer yang tidak layak, serta fasilitas pendidikan yang minim dan rusak masih terus terjadi. Dengan kata lain, masalahnya bukan pada jumlah uangnya, tetapi pada bagaimana uang tersebut dikelola dan digunakan.
,   .


Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan primer yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam ajaran Islam, pendidikan bukan hanya sekadar sarana fisik, tetapi juga mencakup kualitas kurikulum, pengajaran, dan pengembangan moral. Dalam mendukung lahirnya generasi unggul, negara Khilafah akan memenuhi sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar guru dan siswa.

Penguasa dalam Islam akan menyediakan kebutuhan tersebut dengan maksimal karena Islam memposisikannya sebagai pengurus rakyat yang menjalankan hukum Islam secara kaffah. Dengan sistem ekonomi Islam negara memiliki pemasukan besar yang mampu membiayai fasilitas pendidikan sehingga terwujud bangunan sekolah terbaik lengkap dan kokoh.

Pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum). Dari pos kepemilikan umum negara akan memiliki pemasukan berlimpah karena bersumber dari pengelolaan sumber daya alam seperti hutan, lautan, barang tambang, mineral, migas dan lain-lain. 

Sistem pendidikan Islam bebas biaya untuk seluruh peserta didik. Contoh praktisnya adalah Madrasah al-Mustansiriyyah yang didirikan Khalifah al-Mustansir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa satu dinar (4,25 gram emas) per bulan. Segala fasilitas termasuk bangunan sekolah yang menunjang kegiatan belajar mengajar akan memudahkan guru mentransfer ilmu kepada para pelajar. Semua bisa dinikmati oleh peserta didik secara cuma-cuma tanpa membedakan strata sosialnya. Negara bahkan tidak boleh menarik sepeserpun uang dari rakyat untuk mengakses pendidikan.

Sistem pendidikan yang ideal seperti yang dijelaskan sebelumnya hanya dapat diwujudkan dalam tatanan negara yang menjalankan peran sebagai raa'in (pengurus/pelindung) umat berdasarkan tuntunan Islam, yaitu Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, penerapan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah) dalam negara Khilafah akan menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Bagikan:
KOMENTAR