Hidup Sejahtera Tanpa Pajak


author photo

12 Jan 2025 - 13.25 WIB




Lisa Agustin
Aktivis Muslimah 

Awal Januari tahun 2025, pemerintah Indonesia resmi memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12 persen kepada objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Hal ini menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat. Termasuk aktivis mahasiswa di Samarinda, yakni HMI. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Samarinda gelar aksi kegiatan Refleksi Akhir Tahun dengan Tema "Kilas Balik 2024" di Taman Samarendah. (Kaltimnyapa.com, Samarinda, 30/12/2024)

Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% sungguh kebijakan tak bijak di tengah masyarakat yang semakin sulit. Meski diklaim kenaikan pajak hanya diberlakukan untuk barang jasa mewah, tetap saja akan mempengaruhi kebutuhan lainnya sehingga terjadi pelemahan daya beli. Jika lemahnya daya beli ini terus berlanjut, efeknya akan mengakibatkan PHK massal karena perusahaan harus melakukan efisiensi untuk memangkas biaya produksinya.

Pajak Dalam Kapitalisme 

Dalam paradigma negara kapitalisme sekuler, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara untuk mendistribusikan kekayaan dan penerimaan negara. Pajak adalah satu keniscayaan. Demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan lainnya. Pajak juga dianggap sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mengontrol inflasi.

Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya disini negara tidak berperan sebagai pengurus. Inilah konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme sekuler. Dengan asas ekonomi kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), negara tidak lagi memiliki kekuasaan untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri.

SDA yang ada malah diberikan kepada pihak investor (pengusaha swasta) baik Asing maupun Aseng dengan Hak Konsesi yang sah menurut konstitusi. Peran penguasa di dalam paradigma negara kapitalisme sekuler hanyalah menjadi regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal, bukan mengurusi kebutuhan rakyatnya.

Terbukti, banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha dengan alasan untuk meningkatkan investasi. Sebaliknya rakyat biasa akan terabaikan dan menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’. Sungguh ini adalah kebijakan zalim.

Pajak Menurut Islam

Negara Islam adalah negara yang meletakkan Islam sebagai asas dalam bernegara. Aturan Islam yang bersumber dari Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' Sahabat dan kiyas syar'i menjadi landasan hukum lahirnya peraturan dan kebijakan penguasa. Termasuk didalamnya penentuan apa saja yang menjadi sumber pemasukan negara.

Dalam Islam, pajak (dharibah) merupakan alternatif terakhir sumber pendapatan negara. Maksudnya adalah, pajak dipungut hanya di saat kondisi tertentu dan hanya pada kalangan tertentu saja. Kemudian dalam pandangan Islam pajak itu bersifat sementara dan tidak terus-menerus seperti sekarang.

Adapun sumber pemasukan negara Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Menurut Zallum (2003), pos pendapatan APBN Khilafah terdiri dari 12 jenis, yakni pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharibah; dan harta zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).

Misalkan, pos pemasukan berasal dari pengelolaan sumber daya alam dan energi (SDAE) saja, dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam, Khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Sebab prinsip yang digunakan untuk pengelolaan harta milik umum oleh negara adalah memanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan umat. Bukan prinsip bisnis seperti yang terjadi hari ini.

Artinya rakyat berhak menerima secara cuma-cuma hasil dari pengelolaan kekayaan SDAE. Bisa dalam bentuk hasilnya langsung, seperti gas, BBM, listrik, air bersih dan lain sebagainya. Atau bisa juga berbentuk pembangunan fisik, seperti fasilitas umum dan layanan sehingga pasti memudahkan hidup rakyat.

Terakhir, Islam menetapkan negara atau penguasa bertanggung jawab sebagai pengurus (rain) dan pelindung (junnah) rakyatnya. Bukan pemalak rakyat. Islam mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyatnya dalam bentuk apapun. Dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam inilah, Khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Wallahu alam
Bagikan:
KOMENTAR