_Oleh: Ita Safitri, S.Pd (Pendidik dan Aktivis Muslimah)_
Islam memandang bahwa pernikahan bukan hanya perkara ibadah, akan tetapi merupakan perjanjian yang agung (mitsaqan gholizan). Siapapun yang telah menunaikannya, berarti ia telah menyempurnakan separuh agamanya.
Oleh karena itu, setiap muslim harus memandang pernikahan ini sebagai hal yang penting dalam kehidupannya, ia akan mempersiapkan dengan baik, dan berusaha menjalaninya sesuai syariat. Ia juga akan mempertahankan pernikahannya sekuat tenaga sehingga tercapai sakinah mawadah, dan rahmah.
Namun, tidak demikian yang terjadi pada rakyat Indonesia, khususnya Aceh, negeri yang dijuluki dengan Serambi Mekkah.
Mahkamah Syar'iyah Aceh telah mencatat sebanyak 7.103 perkara perceraian yang terdaftar sepanjang tahun 2024 lalu, dengan jumlah 5.585 yang merupakan cerai gugat yang diajukan istri. Sementara cerai talak yang diajukan oleh suami mencapai 1.518 kasus.
Kondisi ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sebagaimana yang diungkapkan oleh Panitera Muda Hukum MS Aceh, Hermansyah, mengatakan jumlah angka perceraian di Aceh mengalami peningkatan. Pada 2023, cerai talak tercatat 1.621 kasus, sedangkan cerai gugat mencapai 5.440 kasus.
Di beberapa daerah khususnya Provinsi Aceh, daerah dengan angka perceraian tertinggi adalah Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, tercatat sebanyak 189 kasus cerai talak, sementara cerai gugat mencapai 710 kasus.
Sementara itu wilayah Bener Meriah, mengalami peningkatan sebanyak 11 perkara dari tahun 2023 lalu.
Berdasarkan catatan dari Mahkamah Syar'iyah Simpang Tiga Redelong, total jumlah angka perceraian mencapai 275 kasus. Dimana sebanyak 206 perkara istri gugat cerai suami, sementara cerai talak oleh suami sebanyak 69 perkara.
Di kabupaten Aceh Tenggah, yang diliput dari catatan Mahkamah Syar'iyah Takengon, sebanyak 368 kasus istri gugat cerai suami, dan sebanyak 154 perkara cerai talak dari suami.
Sebaliknya, kota sabang menjadi daerah dengan angka perceraian terendah, dengan 59 kasus terdiri atas 17 cerai talak dan 42 cerai gugat.
Menurut Herman, faktor utama yang menyebabkan meningkatnya kasus perceraian adalah faktor ekonomi, perselisihan yang terus menerus terjadi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, diperparah dengan perjudian online yang memicu perselisihan antar pasangan suami istri.
Fenomena ini tentu mengundang tanda tanya besar dibenak kita, kenapa kasus ini terus bertambah, padahal pemerintah setempat juga sudah mengarahkan upayanya untuk mencegah angka perceraian ini agar tidak bertambah dengan menyediakan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang diadakan secara massal.
Jika kita telusuri secara lebih teliti dan mendalam, ternyata akar utama fenomena ini adalah karena tidak adanya penjagaan berlapis berupa hukum-hukum perlindungan keutuhan keluarga yang mestinya dijalankan oleh berbagai pihak. Mulai dari pasangan suami istri sendiri, masyarakat, maupun negara.
Pada lapisan pertama yakni pihak suami istri misalnya, masalahnya adalah tidak memiliki pemahaman terkait hukum-hukum bagaimana syariah Islam memandang penting pernikahan, sehingga ketika suami istri paham terkait hukum-hukum ini tentu mereka akan memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Sebagai contoh, istri yang menggugat suami atau suami yang mentalak istri karena kasus perselingkuhan, hal ini disebabkan karena ketidakpahaman suami atau istri bagaimana seharusnya tata cara pergaulan dalam Islam.
Oleh karena itu, penting sekali untuk menanamkan pemahaman aqidah Islam kepada kaum laki-laki dan perempuan secara intensif, tidak cukup dilakukan hanya dua hari saja seperti yang Kemenag lakukan dalam agenda Bimwin tadi, tapi harus ada upaya penanaman aqidah Islam ini sejak awal dimulainya pendidikan dasar, hal ini agar keimanan dan ketaqwaan generasi tertancap dengan kuat.
Didukung pula oleh iklim masyarakat yang budayanya adalah saling sehat menasehati, hari ini kita kehilangan masyarakat yang saling peduli terhadap sesama, tanpa disadari corak kehidupan masyarakat yang individualistik dan hedonis kerap menjadi pemicu perselisihan antar suami istri dalam berumah tangga. Kehidupan hedon ini menambah deretan kerunyaman masalah dalam rumah tangga.
Kehidupan masyarakat yang demikian ini tercipta karena tidak adanya fungsi lapisan yang ketiga, yaitu negara.
Negara yang saat ini sedang berjalan diatas sistem sekuler, yang mana negara telah memisahkan kehidupan dengan agama menjadi sumber utama dari segala sumber masalah yang terjadi saat ini.
Dengan melihat fenomena atau fakta keluarga yang ditimpa kasus perceraian ini, tidak semata-mata karena kelalaian pasangan suami istri itu sendiri, tetapi ada akar masalahnya, tekanan ekonomi, tidak pahamnya hak dan kewajiban, dan bodohnya dari hukum syara' seputar pergaulan dalam rumah tangga, disebabkan tidak berfungsinya negara sekuler yang membentuk ketahanan keluarga.
Negara yang menjalankan sistem sekuler tidak akan menjamin seluruh kepala keluarga mampu menafkahi keluarga dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas, gaji yang pantas, dan pemenuhan sarana publik yang baik. Demikian juga tidak ada pendidikan dan pembinaan untuk pasangan suami istri. Jadilah masyarakat sekuler membentuk keluarga sesuai dengan kadar pengetahuannya sendiri-sendiri, dengan visi dan misinya yang tidak sama, bahkan lebih banyak meniru dan meneruskan model keluarga dari para orang tuanya, juga minim pengetahuan dan skill berumah tangga sesuai Islam sehingga rentan dalam menghadapi persoalan internal maupun eksternal.
Kondisi keluarga yang semakin memprihatinkan ini, membutuhkan solusi tuntas melalui institusi negara Islam. Seorang pemimpin atau Khalifah akan memastikan pelaksanaan hukum syariat oleh keluarga dan akan menerapkan sistem kehidupan yang diperlukan oleh keluarga.
Khalifah akan memastikan suami atau wali mampu memberi nafkah sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah:233
_"...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut... "_
Juga dalam QS. An-Nisa:34
_"...Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya... "_
Khalifah akan menyiapkan pendidikan berbasis aqidah Islam, agar suami paham bahwa pergaulan suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketentraman dan ketenangan, masing-masing menjalankan kewajibannya sehingga dapat meminimalisir munculnya kasus KDRT, perselingkuhan, penelantaran keluarga dan sebagainya.
Khalifah pun akan menyediakan kecukupan kebutuhan keluarga seperti penyediaan rumah layak dengan harga terjangkau, pakaian, dan pangan yang cukup dan murah. Khalifah juga akan menyediakan transfortasi, komunikasi, kesehatan, dan sarana publik lainnya sehingga meringankan beban kepala keluarga.
Khalifah juga akan menghapus platform yang memfasilitasi pelaku judi online dan segala macam bentuk kejahatan cyber lainnya.
Dengan penataan yang seperti ini, tentu saja hanya bisa dilakukan oleh sebuah institusi negara, negara berkewajiban mengurusi urusan rakyatnya hingga pada level rumah tangga.
Inilah yang diinginkan dan dirindukan rakyat, mengurusi urusan rakyat dengan penerapan syariat Islam dengan sempurna, karena sejatinya negara berperan besar dalam menjaga keutuhan keluarga. Jika bukan dengan syariat Islam yang diterapkan oleh negara, niscaya keutuhan keluarga dan kesejahteraannya mustahil akan terwujud.
Negara dengan sistem Islam tentu akan membawa berkah yang berlimpah, karena Allah SWT sendiri yang menjaminnya.
_"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."_
(QS. Al-A'raf: 96)
Wallahu a'lam bishawab []