Oleh: Nor Hilmi Wati (Mahasiswi)
Tahun sudah berganti dengan membawa harapan baru untuk negeri ini tapi harapan itu tidak akan terjadi apabila tidak ada evaluasi. Penghujung waktu sebelum tahun berganti ternyata didapati bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Kabupaten Kutai Kartanegara mengalami kenaikan. Jika pada tahun 2023 persentase TPT sebesar 4,05% sementara pada tahun 2024 sebesar 4,11%. Sebagaimana yang dilansir dalam laman korankaltim.com Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kukar, Musniah menyampaikan bahwa peningkatan TPT sebesar 0,06% dikarenakan banyaknya angkatan kerja baru. Banyaknya angkatan kerja baru ini berasal dari pertumbuhan jumlah lulusan baru dari SMA maupun Perguruan Tinggi yang akan masuk dalam angkatan kerja, namun sayangnya tidak semua lulusan baru ini mampu terserap pasar kerja.
Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar di benak kita, apakah benar lulusan baru atau fresh graduate menjadi penyebab meningkatnya tingkat pengangguran terbuka (TPT)? Maka perlu kita analisa bersama penyebab utama dari masalah pengangguran negeri ini yang tiada kunjung terselesaikan.
Masalah pengangguran selalu menjadi tugas berat di negeri ini setiap tahunnya. Berdasarkan data Agustus 2024 jumlah pengangguran di Indonesia adalah 7,47 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,91%. Meskipun terjadi penurunan dibandingkan dengan Agutsus 2023 yang sebesar 7,99 juta orang tetap saja angka 7,47 juta adalah angka yang cukup besar mengingat jumlah usia produktif kerja di Indonesia per tahun 2024 sebesar 196.558.195 jiwa dengan jumlah angkatan kerja 152,11 juta orang.
Alasan teratas penyebab pengangguran terbuka adalah jumlah angkatan kerja lebih banyak dibandingkan jumlah lapangan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk yang sudah memasuki usia kerja dan aktif secara ekonomi, baik yang sedang bekerja, mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan usaha baru. Dalam hal ini termasuk fresh graduate atau lulusan SMA/SMK dan perguruan tinggi yang ketika telah menyelesaikan masa pendidikan akan memasuki tahap mencari pekerjaan. Tapi sayangnya tidak sedikit fresh graduate yang pada akhirnya menganggur.
Alasan tidak semua fresh graduate terserap pasar kerja:1. Jumlah lulusan tidak sebanding jumlah lapangan pekerjaan
Jumlah lulusan tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan bukanlah suatu hal yang kemudian bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan banyaknya jumlah fresh graduate. Sebab banyaknya jumlah lulusan di Indonesia adalah hal wajar dan alamiah, hal ini dikarenakan Indonesia memang sedang mengalami bonus demografi dimana jumlah penduduk dengan usia produktif 15 – 64 tahun lebih banyak dibandingkan penduduk usia non produktif. Menghadapi kondisi tersebut sepatutnya pemerintah mengetahui bahwa itu berarti mereka harus menyiapkan lapangan pekerjaan yang cukup agar setiap fresh graduate tidak perlu khawatir dengan nasib mereka setelah menyelesaikan pendidikannya.
Namun sayangnya, hari ini fakta berkata sebaliknya. Negara tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan untuk setiap warga negaranya yang membutuhkan pekerjaan. Bukannya memberikan lapangan pekerjaan, negara hari ini justru menuntut rakyatnya untuk mandiri dengan membuka usaha sendiri dengan berwirausaha. Sementara untuk mampu berwirausaha dibutuhkan modal dan skill yang pada kenyataannya tidak semua orang memilikinya. Belum lagi beban pajak yang harus ditanggung oleh wirausahawan semakin menambah beban kehidupan rakyat yang memang sudah sulit sejak awal. Ini merupakan gambaran berlepas tangannya negara atas tanggung jawabnya dalam mengurusi rakyat, rakyat diminta mandiri tapi pada akhirnya negara justru memeras hasil kerja mereka melalui pajak.
2.. Lulusan tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan (kemampuan dan pendidikan)
Alasan lainnya mengapa banyak fresh graduate tidak terserap pasar kerja adalah karena mereka tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan yang dibutuhkan. Hari ini untuk mendapatkan pekerjaan layak dan bergengsi tidak cukup dengan hanya bergelar sarjana, tapi juga dituntut untuk memiliki soft skill dan pengalaman bekerja. Ditambah lagi kriteria pelamar kerja harus berpenampilan menarik, mampu bekerja di bawah tekanan dan lain-lain.
Secara kuantitas Indonesia memiliki sumber daya manusia yang melimpah tapi sayang hal ini tidak diikuti dengan kualitas yang baik. Mengapa demikian? sebab pendidikan Indonesia hari ini belum bisa melahirkan lulusan yang ahli dan mahir di bidangnya. Contoh di perguruan tinggi, mahasiswa diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan fokus program studi yang diambil, seperti berwirausaha, dapat mengambil mata kuliah di luar program studi, dan sebagainya. Dengan alasan agar mahasiswa memiliki banyak skill di luar dari program studinya. Tapi mereka lupa bahwa hal ini justru membuat mereka tidak benar-benar ahli di satu bidang mana pun. Sehingga pada akhirnya banyak lulusan sarjana yang banting setir, misal lulusan pendidikan memilih bekerja di bank, lulusan teknik memilih membuka toko/usaha, lulusan manajemen memilih menjadi sales, dan sebagainya. Kalaupun sekolah/perguruan tinggi berupaya menyiapkan lulusannya untuk siap bekerja itu hanya sebatas menjadi pegawai/karyawan atau buruh kasar semata hingga muncul istilah “budak korporat” di kalangan pekerja di kota-kota besar.
3.. Kalah saing dengan tenaga kerja asing
Bukannya menambah lapangan pekerja dan membenahi kualitas pendidikan, pemerintah malah mendatangkan tenaga kerja asing yang dianggap lebih mampu dan berkualitas ke dalam negeri. Bukannya menjadi solusi hal ini tentu malah mendatangkan masalah. Seharusnya pemerintah berbenah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam negeri agar mereka mampu bersaing bukannya malah menggantikan mereka dengan tenaga kerja asing.
Semua ini wajar terjadi apabila negara menerapkan sistem sekular kapitalisme dalam kehidupan. Negara yang menerapkan sistem ini hanya menjadikan dirinya sebagai regulator yakni pembuat kebijakan semata tanpa benar-benar mengurusi rakyatnya. Kebijakan yang dibuat pun kebanyakan menyengsarakan rakyat seperti UU Cipta Kerja, pajak, dan lain-lain.
Sangat berbeda dengan negera yang menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Jika berbicara mengenai lapangan kerja erat kaitannya dengan sistem ekonomi. Negara kita hari ini menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang didasarkan pada prinsip pasar bebas dan kepemilikan pribadi. Dalam sistem ini, pihak swasta memiliki kebebasan untuk mengambil keuntangan. Maka tidak heran negeri yang kaya akan sumber daya alam dan energi ini justru memiliki masalah ekonomi yang tidak kunjung usai sebab sumber daya alam dan energi tersebut dimiliki oleh sekelompok orang atau individu. Sistem ini menjadikan siapapun dapat memiliki apapun selama ia memiliki uang/modal. Sehingga mereka pun ketika menjalankan usaha atau bisnis pasti berorientasi pada untung-rugi. Walhasil nasib para pekerja tergantung pada kondisi dunia bisnis yang tidak menentu. Seperti saat kondisi pandemi dimana perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja, banyak pekerja yang terkena PHK massal dan berakhir menganggur.
Islam memandang bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengurusi rakyatnya, seperti memberikan lapangan kerja, memastikan rakyat mengenyam pendidikan berkualitas dan mendapat pelatihan soft skill, dan lain-lain. Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan diatur secara jelas. Dalam Islam kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikian umum,, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Sumber daya alam dan energi tidak boleh dimiliki oleh sekelompok orang atau individu karena ini termasuk kepemilikan umum artinya tidak boleh diprivatisasi, harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan murah/gratis, kesehatan gratis, BBM murah/gratis, dan lain-lain. Jika sumber daya alam dan energi ini dikelola langsung oleh negara maka negara dapat membuka banyak lapangan pekerjaan karena negara pasti membutuhkan tenaga kerja untuk mengelola sumber daya alam dan energi tersebut. Selain itu juga negara akan memberikan modal kepada raykat yang wajib bekerja apabila ingin membuka usaha dan memastikan mereka memiliki skill untuk melakukannya.
Sistem pendidikan Islam juga melahirkan lulusan yang taqwa, berintelektual tinggi dan ahli di bidangnya. Sehingga mereka mampu memaksimalkan potensinya untuk kemaslahatan umat dan dirinya dengan tetap berada di koridor syari’at. Maka para fresh graduate tidak perlu khawatir akan nasibnya setelah lulus, mereka akan dijamin mendapatkan pekerjaan yang layak dan mereka juga mampu menciptakan lapangan kerja sesuai dengan passion yang dimiliki.
Tentu ini semua membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu negara memiliki sumber dana dari baitul maal dengan tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama, sektor kepemilikan individu (sedekah, hibah dan zakat). Kedua, sektor kepemilikan umum (tambang, minyak bumi, gas, hutan dan sejenisnya). Ketiga, sektor kepemilikan negara (jizyah, kharaj, fa’i dan usyur).
Beginilah gambaran apabila negara menerapkan aturan Allah (Islam) secara sempurna, maka akan didapati kehidupan yang penuh berkah sehingga segala urusan terasa lebih mudah untuk dijalani.
Wallahu a’lam bish showab