Ancaman Terhadap Wartawan Pasca Berita Kecelakaan Maut di Cot Gapu: Sebuah Peringatan Bagi Kebebasan Pers di Aceh


author photo

30 Jan 2025 - 20.43 WIB


Bireuen —Kebebasan pers kembali terancam di Indonesia, kali ini di Kabupaten Bireuen, Aceh. Seorang wartawan media online yang berinisial (MS), menerima intimidasi serius setelah memberitakan kecelakaan maut yang terjadi di Cot Gapu, Bireuen, yang merenggut nyawa seorang anak berusia 10 tahun dan ibunya, Kamis (30 Januari 2025).

Peristiwa kecelakaan ini melibatkan kendaraan jenis Pajero yang diduga dikemudikan oleh S yang merupakan, seorang warga Mon Ara, Kecamatan Makmur, yang disebut-sebut merupakan kendaraan milik salah satu anggota DPRK Bireuen.

Tidak lama setelah berita tersebut diterbitkan, MS menerima sejumlah panggilan telepon dan pesan suara yang mengancam dari oknum anggota DPRK tersebut. Dalam pesan suara yang beredar, oknum tersebut dengan nada marah meminta agar berita yang telah dipublikasikan dihapus dan bahkan mengancam akan membawa masalah tersebut ke ranah hukum.

"Hai, nyan pat neucok keterangan nyan neupeugot berita nyan, bek meunan lah tanyoe pane nyoe meunan, nyan kon neupoh loen. Yang pertama nyan, moto hana neutop BL. nyan moto Loen, Berarti nyan merugikan loen, jadi gura droe neuh nyan, kupeuek kasus keudeh jeut," begitu salah satu rekaman yang diterima oleh MS, yang jelas mengindikasikan tekanan dan intimidasi terhadap profesi jurnalistik yang dijalankannya.

Ancaman tidak berhenti hanya pada pesan suara pertama. Dalam rekaman lainnya, oknum anggota DPRK itu kembali menegaskan ancamannya dengan mengatakan, "Kurasa iloen hana masalah long ngon kah, jadi gura drokuh. Bak kapeuek lom anggota DPRK heuh, sang ka hayeu that droe keuh."

MS, sebagai jurnalis yang hanya menjalankan tugasnya berdasarkan fakta yang ada, menanggapi ancaman tersebut dengan tegas. "Saya hanya memberitakan apa yang terjadi di lapangan sesuai dengan fakta yang ada. Tidak ada yang saya ubah atau manipulasi. Jika ada pihak yang merasa dirugikan, mekanisme yang tepat adalah hak jawab, bukan ancaman atau intimidasi terhadap wartawan," ungkap MS dalam pernyataannya.

Ironisnya, tindakan intimidasi ini datang dari seorang anggota DPRK yang seharusnya memahami dan mendukung prinsip-prinsip kebebasan pers. Peristiwa ini mengungkapkan rendahnya pemahaman sebagian pejabat terhadap peran media sebagai lembaga yang bertugas mengawasi dan menyampaikan kebenaran kepada publik. Pers, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, memiliki peran vital untuk mengungkapkan fakta dan informasi yang relevan demi kepentingan publik, bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Jika tindakan intimidasi seperti ini terus dibiarkan, maka akan tercipta preseden buruk bagi kebebasan pers, terutama di Aceh, yang berpotensi mengancam integritas pemberitaan di wilayah tersebut. Tidak boleh ada pihak, terlebih lagi pejabat publik, yang merasa kebal hukum dan merasa berhak untuk membungkam suara-suara kritis dengan ancaman semata.

Sebagai jurnalis, tugas utama adalah menyampaikan kebenaran. Jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut, hak jawab adalah mekanisme yang harus digunakan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers. Media memiliki tanggung jawab untuk mengungkapkan fakta demi kepentingan publik. Dalam konteks ini, masyarakat berhak mengetahui siapa yang benar-benar bekerja untuk kepentingan mereka dan siapa yang berusaha menutupi kebenaran demi kepentingan pribadi.

Kebebasan pers adalah hak fundamental yang tidak bisa dikompromikan. Sehingga, ancaman terhadap wartawan adalah ancaman terhadap kebebasan itu sendiri. Pers tidak boleh dibungkam, dan setiap ancaman terhadap wartawan harus ditanggapi dengan serius untuk menjaga integritas dan kemandirian jurnalisme di tanah air.(A,1)
Bagikan:
KOMENTAR