Penulis: Dzakwan Ramadhan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan bahwa tarif pajak pertambahan nilai Indonesia akan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif PPN ini merupakan bagian dari Kebijakan Harmonisasi Undang-Undang Perpajakan (UU HPP) yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021, yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung berbagai program pembangunan yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.
Jakarta - Ketua DPP Partai Demokrat Herman Khaeron (Hero) mengatakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% akan sejalan dengan peningkatan program ke rakyat. Ia menilai pemerintah akan memperhatikan insentif untuk menjaga daya beli masyarakat. "Saya yakini bahwa kenaikan PPN ini juga diiringi dengan peningkatan program-program prorakyat dan insentif sehingga dapat menjaga daya beli masyarakat dan perekonomian secara umum," kata Herman kepada wartawan, Selasa (24/12/2024).
Meskipun tarif PPN yang baru dianggap relatif rendah dibandingkan tarif PPN di beberapa negara lain, banyak masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, menganggap kebijakan ini memberatkan. Mereka khawatir kenaikan pajak pertambahan nilai akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan menurunkan daya beli.
Bung Yuana Triutomo, menanggapi kebijakan ini dengan kritik, menyatakan bahwa keputusan untuk menaikkan PPN tidak memiliki kebijaksanaan yang memadai. Ia menyoroti bahwa meskipun ada prediksi bahwa upah pekerja akan naik sebesar 5% pada tahun 2025, kenaikan tersebut tidak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan PPN. Dengan kata lain, meskipun ada harapan untuk peningkatan upah, kenyataannya banyak masyarakat kecil yang akan tetap merasakan tekanan ekonomi yang lebih besar akibat kebijakan ini.
Menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga 12% berisiko memperburuk ketimpangan ekonomi dengan menjadikan kelompok kaya semakin kaya dan kelompok miskin semakin miskin. Masyarakat kelas atas mungkin bisa beradaptasi dengan kenaikan harga, namun masyarakat kelas bawah akan semakin terbebani.
Demi keadilan sosial dan transparansi, kenaikan tarif PPN ini perlu diperhatikan secara serius. Keadilan sosial sangat penting dalam Islam, dan kenaikan pajak ini dapat menjadi beban masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Bung Yuana mengkritik logika di balik kenaikan pajak, yang didasarkan pada kebutuhan untuk stabilisasi fiskal. Ia menekankan bahwa alih-alih mengenakan pajak tinggi kepada rakyat biasa, pemerintah harus mencari solusi lain, seperti pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif.
Kenaikan pajak pertambahan nilai ini juga dinilai akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang tidak mampu memberikan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Dalam diskusi tersebut ditegaskan bahwa untuk mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya, perlu diperkenalkan sistem ekonomi Islam yang sejalan dengan hukum syariah.
Kesimpulan akhir menekankan bahwa penerapan hukum Islam (kaffah) secara komprehensif dalam pengelolaan perekonomian dan keuangan suatu negara merupakan solusi yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata. Penerapan prinsip keadilan sosial dalam Islam bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.