(Oleh : dr. Nur Aznizah Amir)
Negeri ini terus dilanda masalah kesehatan baik dari aspek pendanaan maupun ketersediaan sumber daya manusia tenaga kesehatan. Dilansir bisnis.com (7/12), BPJS Kesehatan menghadapi resiko defisit dan gagal bayar meskipun iuran naik 10%. Rasio klaim terhitung sudah mencapai 109,62%, mengartikan pembayaran layanan kesehatan sudah lebih tinggi dari iuran yang diperoleh. BPJS Kesehatan mencatat penerimaan iuran sebesar Rp133,45 triliun, sedangkan beban jaminan kesehatan sebesar Rp146,28 triliun.
Seolah dibidik dari berbagai sisi, negeri ini juga masih terperangkap pada masalah usang soal ketersediaan tenaga medis. Perbandingan 1000 penduduk dilayani 1 orang dokter hanya nyanyian teori yang mengambang di angan khayal negeri ini. Data mencatat kekurangan 124 ribu dokter umum dan 29 ribu dokter spesialis manakala setiap tahunnya pendidikan Indonesia hanya dapat mencetak 2.700 dokter spesialis. Di beberapa kesempatan menteri kesehatan menyampaikan perlu 15 tahun untuk bisa memenuhi kebutuhan jumlah dokter spesialis. Masalah ini disempurnakan dengan terbatasnya kapasitas pendidikan kesehatan.
Maldistribusi nakes tampak nyata dengan jumlah yang jauh tertinggal tersebut, ditambah persebarannya pun hanya terkonsentrasi di pulau Jawa dan kota-kota besar. Konsekuensinya, yang terpotret di negeri ini adalah meningkatnya persentase self medication, 80% warga lebih memilih melakukan pengobatan sendiri. Pilihan yang harus diambil tatkala ketersediaan faskes dan akses jangkau masih sulit.
*Komplikasi sistemik-paradigmatik*
Defisit anggaran, tidak meratanya tenaga ahli, pendidikan berbiaya tinggi, bahkan kekurangan tenaga kesehatan jauh dari standar bukan persoalan baru memang. Noda-noda hitam potret buram sistem kesehatan yang sambung menyambung tak temu jalan solusi efektif yang mengakar. Terjeratnya negeri ini pada masalah lama berkepanjangan tak semata tersebab perkara teknis. Jauh mendalam dari itu, oleh karna sistem kesehatan diletakkan sebagai komoditas yang mendatangkan profit benefit, sektor basah bisnis bagi para pemilik modal.
Konsepsi demikian lahir dari paradigma kepemimpinan kapitalisme sebagai ideologi adidaya negeri-negari muslim hari ini tak terkecuali Indonesia. Kesehatan yang pasti dibutuhkan oleh semua orang tak berbeda dengan industri dagang lainnya yang bernafas keuntungan, jauh dari sifat layaknya pelayanan.
Konsep kepemimpinan kapitalisme sepaket melahirkan penguasa yg berperan regulator dan fasilitator semata. Pengesahan kebijakan diselaraskan dengan kebutuhan para pemilik modal, bukan rakyat, termasuk dalam mengakomodir kebutuhan-kebutuhan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Maka wajarlah jika ketersediaan faskes terkesan seadanya, tebang pilih distribusi. Ada harga mahal yg harus dibayar jika pelayanan berkualitas diinginkan, distribusi yg masih tidak merata ditambah kurangnya SDM tenaga kesehatan yang selalu berlindung dibalik narasi "sekolah kesehatan mahal" menjadi konsekuensi logis akibat komersialisasi bidang kesehatan maupun pendidikan. Masalah keduanya berpadu dan beradu soal dalam kubangan penerapan sistem kapitalisme.
Demikianlah aktualisasi konsep kepemimpinan yang tegak diatas landasan sekuler. Regulasi kesehatan lahir atas pijakan akal kerdil manusia/penguasa yang penuh kepentingan. Tidak ada ruh ketakutan akan pertanggungjawaban kekuasaan, yang ada justru pekatnya sekulerisme dalam kepemimpinan. Aspek kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar rakyat seketika berubah layaknya sektor komersial yang menggiurkan para pemilik modal. Rakyat dipalak di negeri sendiri atas nama iuran jaminan sosial, sementara kekayaan buminya dieksploitasi berpindah hak milik kepada korporasi.
*Kepemimpinan Islam solusi masalah kesehatan*
Konsep kepemimpinan islam meletakkan negara dan penguasa sebagai raa'in, yakni pengurus urusan rakyat dengan syariah Allah Al Mudabbir. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa’in (penggembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). Kepemimpinan islam dalam hal ini negara hadir mengayomi, mengurusi dan melindungi.
Dalam islam, kesehatan diposisikan sebagai kebutuhan asasi publik yang diampuh oleh negara. Atas tuntutan syariah, kesehatan adalah hak dasar masyarakat. Sebagaimana Rasulullah saw. mencontohkan sebagai pemimpin umat Islam beliau menyediakan layanan kesehatan gratis untuk rakyat. Dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter untuk Ubay bin Kaab.” (HR Muslim). Negara hadir memberi solusi persoalan apapun terkait kesehatan. Ini berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).
Kebutuhan komunal ini dilakoni negara dengan memenuhi segala aspek yang menunjang optimalisasi pelayanan. Negara hadir menyiapkan fasilitas kesehatan berkualitas, terjangkau, tenaga medis yg ahli terampil, mumpuni serta merata bagi seluruh rakyat tanpa memandang kasta. Pemenuhan kebutuhan publik yg berbiaya besar ini ditopang oleh kekuatan sistem ekonomi dan politik islam yg terintegrasi dalam kepemimpinan islam.
Sumber dana berasal dari pengelolaan SDAE negeri-negeri islam dilandasi perintah Asy Syar'i hingga nihil dari intervensi asing, dan independensi negara nyata adanya. Hal ini yang akan menutup celah kepemilikan individu maupun kelompok tertentu terhadap apa yang semestinya menjadi hak dan kepemilikan umum. Dana tidak dibebankan kepada individu rakyat, baik dalam bentuk iuran maupun asuransi. Kekuatan sistem ekonomi islam yg hanya berlandas aqidah islam akan mampu menghadirkan fasilitas kesehatan terbaik, dan mampu menyiapkan pendidikan berbiaya terjangkau bahkan gratis untuk menunjang ketersediaan SDM nakes.
Hal ini lantas selaras dengan lahirnya kebijakan penguasa yang semata bertumpu pada seruan Allah Al Hakim dalam mengurus hak-hak rakyat. Kebijakan dan regulasi yang lahir dari sistem politik islam tak akan menyengsarakan terlebih memalak rakyat atas nama iuran berkedok seruan gotong royong.
Negara dibawah kepemimpinan islam menjamin kesehatan dari aspek preventif hingga kuratif- rehabilitatif. Kekurangan tenaga kesehatan memacu negara untuk meningkatkan kapasitas pendidikan tanpa mempertimbangkan untung rugi. Semua ini dapat dilakukan karna pijakan konsepsi raa'yin negara dan keyakinan akan pertanggungjawaban dihadapan Allah.
Jeratan masalah kesehatan (dan aspek lainnya) yg tak berujung menjadi dering sinyal lantang bagi masyarakat dunia, bahwa umat ini butuh kepemimpinan islam. Kepemimpinan yg melahirkan negara berkarakter riayah bukan jibayah. Kepemimpinan yg menelurkan banyak pemimpin amanah, bijaksana, jujur dan adil karna telah berpegang pada aqidah Islam yg karnanya wujud dalam kepribadian dan sikap perlakuannya terhadap posisi yang sedang diemban. Penguasa berperan menerapkan aturan-aturan Islam, serta memastikan kebutuhan komunal terpenuhi dan layak. Wallahua'lam bisshawab [NA]
#PemimpinPengurusRakyat
#ButuhKepemimpinanIslam