Pemberian intensif bebas pajak bagi pelaku usaha di wilayah IKN diputuskan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28 Tahun 2024 Tentang Fasilitas Perpajakan Dan Kepabeanan di Ibu Kota Nusantara yang disahkan pada tanggal 29 April 2024 di Jakarta. Berdasarkan peraturan ini, UMKM yang memenuhi persyaratan akan dibebaskan dari Pajak Penghaslan (PPh) final dengan tarif 0% hingga tahun 2035 bagi yang beromzet hingga Rp 50 miliar/tahun.
Kebijakan itu dianggap sebagai peluang emas bagi UMKM yang beraktivitas di IKN. Adanya kebijakan ini diharapkan UMKM dapat merasakan keringanan pajak yang signifikan, medorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan di IKN. Selain itu membuat dana operasional dan pengembangan bisnis menjadi lebih banyak disamping membuat IKN menarik untuk pelaku usaha untuk berinvestasi besar.
Kebijakan bebas pajak untuk UMKM yang beroperasi di wilayah IKN menjadi salah satu insentif menarik untuk mengakselarasi perkembangan UMKM. Sebenarnya ini bukanlah hal yang baru, karena pada tahun 2023 Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di IKN.
Maka terbitnya PMK Nomor 28 Tahun 2024, memperjelas bagaimana IKN akan berkembang dengan adanya UMKM yang bergerak dan beroperasi di IKN. Meskipun begitu tetap ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh UMKM yang mendapatkan fasilitas ini.
Persyaratan UMKM penerima insentif pajak adalah UMKM itu beroperasi di IKN, baik berdomisili atau memiliki cabang di wilayah IKN. Kegiatan usaha di IKN yang dibuktikan dengan terdaftar di KPP IKN atau memiliki indentitas perpajakan di wilayah usaha. Investasi minimal 10 milyar yang dilakukan di wilayah IKN. Kualifikasi UMKM ditetapkan oleh instansi berwenang dan pengajuan permohonan dilakukan paling lambat 3 bulan sejak berinvestasi. (finance.detikcom 26/11/2024)
*Pajak Memalak Rakyat*
UMKM adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, di mana permodalannya berbeda-beda. Usaha mikro dengan modal paling banyak 1 milyar, usaha kecil modalnya antara 1-5 milyar, dan usaha menengah modalnya antara 5-10 milyar. Ke semua modal tidak termasuk tanah dan bangunan.
Jika dilihat dari syarat penerima UMKM yang mendapatkan intensif pajak dengan syarat investasi minimal 10 milyar, maka bisa dikatakan ini adalah kemudahan yang diberikan untuk usaha menengah saja bukan usaha kecil apalagi mikro. Usaha menengah adalah usaha dalam ekonomi produktif dan dikatakan sebagai bisnis besar. Jadi pelaku usaha mikro dan kecil sebaiknya tidak berharap dengan intensif pajak ini. Ini semakin membuktikan bahwa kebijakan negara memang untuk kepentingan pelaku bisnis besar saja.
Diberikan syarat agar pelaku usaha UMKM berdomisili di IKN tentulah bukanlah perkara yang mudah, terdapat beberapa tantangan yang para pelaku UMKM ini harus perhatikan sebelum memutuskan membuka usaha di kawasan IKN. Kawasan IKN adalah kawasan yang masih dalam proses pembangunan, infrastruktur yang masih belum lengkap dan sepenuhnya dapat mendukung aktivitas usaha secara maksimal.
Selain itu akses transportasi berupa prasarana jalan yang masih belum selesai di samping tekhnologi dan fasilitas pelengkap lainnya yang juga masih dalam proses pengembangan. Hal itu tentunya akan menjadi hambatan bagi para pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas usahanya. Ini tentunya sebuah upaya yang lucu, meminta beraktivitas membuka usaha di wilayah yang sarana dan prasarananya belum lengkap.
Selain itu tidak dapat dihindari bahwa adanya kebijakan ini semata-mata memang untuk para kapitalis atau pemodal besar, di mana standar minimal investasi adalah 10 milyar. Dari sini jelas bahwa Pemerintah tak ubahnya regulator bagi kepentingan para kapitalis yang mau mencoba peruntungan dengan berusaha di wilayah yang masih minim dengan faslitas yang mendukung dengan insentif pajak 0%.
Akan tetapi ada pajak penghasilan per- Januari 2025 ini akan mengalami kenaikan 12%, di mana ini akan dikenakan kepada semua masyarakat atau konsumen. Dari barang elektronik, tanah dan bangunan, perabotan rumah tangga, makananan dan minuman yang disajikan di hotel, snack dalam kemasan, kendaraan bermotor, pulsa telekomunikasi, kosmetik dan sabun, pakaian dan barang fashion dan lainnya serta pelayanan jasa akan dikenakan PPN 12%.
Inilah sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai jalan untuk mendapatkan pemasukan negara. Bahkan semua hal ada perhitungan pajaknya, termasuk hal yang merupakan kebutuhan primer. Jangankan produk otomotif bahkan keperluan rumah tangga sehari-haripun tak luput dari pajak yang dibebankan kepada masyarakat umum atau konsumen. Akhirnya pajak bagaikan palak yang memaksa masyakarat.
Jelas bahwa sistem ekonimi kapitalis tidak pernah memberikan solusi yang tuntas. Sebaliknya menimbulkan permasalahan yang baru dan ini terkadang dibuat aturan agar sesuai. Hukum bisa berubah tergantung kondisi.
Sistem ini berasas pada pemisahan urusan dunia dan urusan agama, meniscayakan aturan kehidupan berasal dari akal manusia maka tak heran aturan yang ada akan berubah terus tergantung pada situasi dan kondisi. Serta menguntungkan kepada kepentingan golongan atau seseorang yang mempunyai kuasa.
*Islam Memandang Pajak*
Islam adalah ajaran yang sempurna, tidak hanya memberikan seperangkat aturan terkait ibadah tetapi Islam juga memberikan pengaturan dalam memberikan solusi atas problematika manusia. Dalam masalah keuangan ada Baitul Mal sebuah lembaga yang mengelola harta umat Islam yang berasal dari berasal dari jizyah, usyur, kharaj, ghanimah, fa’I.
Selain itu, negara juga mendapatkan pemasukan dari infak, sedekah, dan wakaf selain juga dari pengeloaan sumber daya alam oleh negara. Sumber daya alam adalah kepemilikan umum yang akan dikelola dan diperuntukan kembali kepada rakyat.
Dari pemasukan inilah Islam menjamin kebutuhan dasar bagi seluruh rakyatnya tidak memandang ras, suku bahkan agama. Akan tetapi ketika negara mengalami krisis keuangan maka akan menerapkan yang namanya Dharibah, sebuah pungutan yang dikenakan khusus kepada kaum muslimin yang kaya dan mampu saja (selain pemungutan zakat) untuk keperluan kaum muslimin.
Dharibah bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, dan ketika urusan negara sudah terpenuhi, dharibah ini tidak dipungut lagi. Dharibah hanya digunakan untuk kemaslahatan umat Muslim. Maka jelas bagaimana sistem Islam dalam mengurus dan melayani masyarakatnya, tidak mengambil dari masyarakat umum.
Islam mengatur keuntungan para pengusaha dengan perhitungan zakat, di mana zakat ini nantinya akan diberikan kepada delapan asnab dan bukan diambil negara apalagi dipakai untuk pembangunan infrastruktur. Semua ini akan menjadi nyata tatkala Islam diterapkan secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan yang berasas pada akidah Islam.