Oleh : Sitti Kamariah
(Pemerhati Masalah Sosial)
Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Paser mencatat, angka kemiskinan ekstrem di Bumi Daya Taka per 2024 sudah berada pada 0,2 persen. Dari 10 Kecamatan, 4 di antaranya berada pada angka 0 persen atau bebas dari kemiskinan ekstrem. Kepala Dinsos Kabupaten Paser, Hasanuddin menyatakan, kemiskinan ekstrem merupakan ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan, hunian, pendidikan dan informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial. (www.mediakaltim.com, 12/11/2024)
Telah dikatakan sebelumnya bahwa angka kemiskinan ekstrem di Kabupaten Paser berada pada 0,2 persen, dimana 4 di antaranya berada pada angka 0 persen atau nihil dari kemiskinan ekstrem. Indikator penentuan masyarakat yang masuk dalam data kemiskinan ekstrem adalah jika pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan ekstrem yang dihitung berdasarkan standar internasional, yaitu setara dengan USD 1,9 PPP (Purchasing Power Parity) per hari. Dalam bentuk rupiah, kriteria ini berarti seseorang dengan pengeluaran di bawah Rp10.739 per hari atau sekitar Rp322.170 per bulan masuk pada kriteria miskin ekstrem.
Dengan kata lain, data kemiskinan ekstrem yang disajikan adalah data penduduk yang pengeluarannya tidak sampai Rp10.739 per kapita per hari, sedangkan yang lebih dari angka tersebut sudah tidak dikategorikan miskin ekstrem lagi. Padahal, di tengah biaya kebutuhan pokok yang serba mahal, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, listrik, BBM, air bersih, transportasi, dan sebagainya, angka sekecil itu tidak mungkin bisa menutup biaya hidup normal bagi orang per orang.
Dengan demikian, fakta sebenarnya adalah jumlah penduduk miskin bahkan sampai pada posisi miskin ekstrem jauh lebih besar dari data yang disajikan. Sebab, selain problem data yang sering bermasalah, semua indikator kemiskinan dan kesejahteraan yang biasa digunakan selalu dihitung dengan angka rata-rata. Padahal, pada saat yang sama, ada kesenjangan ekonomi yang sangat lebar antara si miskin dan si kaya. Ada yang bisa berpenghasilan miliaran per bulan, tetapi betapa banyak yang serupiah pun mereka tidak punya.
Menurut World Inequality Report 2022, selama periode 2001-2021 sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional (total household wealth). Sedangkan 10% penduduk lainnya memiliki sekitar 60% kekayaan rumah tangga nasional sepanjang periode sama. Laporan tersebut juga mencatat, pada 2021 rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia berada di level 1 banding 19. Artinya, populasi dari kelas ekonomi teratas memiliki rata-rata pendapatan 19 kali lipat lebih tinggi dari populasi kelas ekonomi terbawah.
Kabupaten Paser berada pada posisi ke empat dalam urutan wilayah terkaya di Provinsi Kalimantan Timur, dengan nilai PDRB per kapita yaitu Rp194,5 per tahun. Kabupaten Paser memiliki beberapa perusahaan besar tambang batu bara, namun ternyata tidak mampu menjamin kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Kekayaan hanya dinikmati segelintir orang akibat SDAE yang dikuasai asing dan swasta. Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka. Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya.
Kemiskinan yang menimpa umat saat ini merupakan kemiskinan sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh negara/penguasa akibat penerapan sistem kapitalisme-sekularisme. Dalam sistem kapitalisme ini, yang punya modal besarlah yang berkuasa dan manusia terdoktrin untuk mengejar materi tanpa melihat halal-haram. Maka, apapun program pemerintah yang masih menerapkan kapitalisme, tidak akan pernah berhasil menihilkan kemiskinan dalam realitanya. Semua program hanya sekedar wacana tanpa ada implementasi nyata.
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan pokok secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtera jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham.
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
ما مِنْ أحد يَسْأَلُ مَسْأَلَةً وَهو عنها غَنِيٌ إِلاَّ جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كُدُوحًا أَوْ خُدُوْشًا أَوْ خُمُوشًا فِي وَجْهِهِ . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: وَمَاذَا يُغْنِيهِ، أَوْ مَاذَا أَغْنَاهُ؟ قَالَ: خَمْسُونَ دِرْهَمًا...
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham...” (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
Jika satu dirham hari ini setara dengan Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak dan istri).
Satu-satunya solusi jitu untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengubah sistem sekuler kapitalisme yang terbukti rusak ini, dengan sistem Islam, yakni sistem sahih yang diberikan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Sang Pencipta kehidupan ini. Islam tidak sekedar agama, namun sebuah sistem/mabda yang berisi syariat lengkap dalam mengatur kehidupan yang seimbang dan sejahtera.
Ada beberapa cara dalam Islam untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda:
طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain (HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
لاَ تَأْيَسَا مِنَ الرِّزْقِ مَا تَهَزَّزَتْ رُؤُوسُكُمَا ، فَإِنَّ الإِنْسَانَ تَلِدُهُ أُمُّهُ أَحْمَرَ لَيْسَ عَلَيْهِ قِشْرَةٌ ، ثُمَّ يَرْزُقُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ
Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Rasulullah saw. juga bersabda:
أَيُّمَا أَهْلِ عَرْصَةٍ ظَلَّ فِيهِمُ امْرُؤٌ جَائِعٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ
Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga : pengelolaan kepemilikan. Ada tiga aspek kepemilikan dalam Islam yaitu, kepemilikan individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memungkinkan siapa pun mencari harta untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang dibolehkan Islam. Adapun kepemilikan umum dikelola negara dan tidak boleh diprivatisasi, kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat, yaitu bisa berupa harga murah bahkan gratis. Harta milik umum ini berupa barang tambang, minyak, sungai, danau, hutan, jalan umum, listrik, dll.
Sedangkan untuk kepemilikan negara, yaitu pada dasarnya merupakan hak milik umum, tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah, dimana hak milik negara ini dapat dialihkan menjadi hak milik individu jika memang kebijakan negara menghendaki demikian. Kepemilikan negara seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, ushr, dan harta hasil BUMN.
Keempat : Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekall.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang. Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Begitulah beberapa contoh kecil peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariat Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Telah terbukti bahwa hanya dengan sistem Islam masalah kemiskinan akan teratasi begitu pun permasalahan lainnya. Maka, sudah selayaknya kita campakkan sistem sekuler kapitalisme ini dan kembali pada penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Tentu sistem Islam ini akan relevan untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun, sebab dibuat oleh Sang Pencipta kehidupan ini.
Wallahu a'lam bishshowab.