Perempuan Pelita Bangsa, Perlukah Menjadi Perlita?


author photo

21 Nov 2024 - 19.14 WIB


Oleh: Ns. Rizqa Fadlilah, S.Kep

Perlita atau perempuan lintas agama, merupakan salah satu program bentukan pemerintah dalam upaya meningkatkan toleransi dan mewujudkan moderasi beragama. Sebagaimana yang disampaikan oleh PJ Gubernur Wildan Taufik dalam sambutannya pada workshop bertemakan ‘Peran Perempuan dalam Mewujudkan Moderasi Beragama’ pada tanggal 1 November lalu. Wildan memaparkan, peran perempuan dalam kehidupan sosial dan keagamaan memiliki kekuatan yang luar biasa. Perempuan sebagai pilar keluarga, menjadi penanam nilai-nilai kebajikan, keterbukaan, serta toleransi yang kemudian menjadi fondasi kehidupan masyarakat (kaltim.kemenag.go.id, 01/11/2024).
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Aminah selaku ketua Perlita Provinsi Kaltim. Aminah mengungkapkan, penerapan moderasi beragama tidak serta merta dapat berjalan tanpa adanya agen moderasi beragama yang mensosialisaikan moderasi beragama kepada masyarakat. Menurutnya, sosok yang tepat untuk menjadi agen moderasi bergama adalah perempuan (kaltim.kemenag.go.id, 01/11/2024).
Aminah menjelaskan, tujuan diadakannya workshop ini adalah untuk menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan sebagai sesama anak bangsa. Serta menyatukan para perempuan lintas agama di Provinsi Kaltim dengan memperkuat rasa kebersamaan dan saling menghargai dalam perbedaan. Ia menegaskan bahwa upaya mewujudkan moderasi beragama di Indonesia diperlukan kerjasama lintas agama, masyarakat, suku dan budaya (kaltim.kemenag.go.id, 01/11/2024).

Dibentuk Menjadi Agen Moderasi
Moderasi beragama memang menjadi salah satu program pemerintah yang gencar disosialisasikan dalam beberapa tahun terakhir. Tidak tanggung-tanggung, program ini telah disusupkan dalam berbagai sistem, baik sistem pendidikan maupun sosial. Dalam sistem pendidikan misalnya, moderasi beragama dijadikan landasan kurikulum pendidikan. Mulai dari pendidikan anak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Sedangkan dalam sistem sosial, program ini menyasar berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, pemuda, hingga perempuan. Masing-masing bagiannya dibentuk kelompok atau agen-agen yang bertugas mewujudkan moderasi beragama dalam masyarakat, seperti dibentuknya Perlita, pemuda lintas agama, dll. 
Begitu urgent-nya toleransi beragama harus diwujudkan, hingga pemerintah rela mengalirkan banyak dana serta melibatkan berbagai kalangan untuk mensukseskan program moderasi beragama ini. Para perempuan yang seharusnya fokus untuk mengurus anak dan keluarga pun diarahkan untuk menjadi agen moderasi beragama. Dengan dalih perempuanlah pilar utama pendidikan anak yang dapat mengajarkan tentang toleransi sejak dini. 
Benar, memang tugas seorang ibu mengajarkan pendidikan dasar kepada anak-anaknya, termasuk toleransi beragama. Sayangnya, toleransi beragama yang diajarkan dalam sistem kapitalisme sekuler sering kali kebablasan. Hingga mengarahkan pada pluralisme, dan tindakan-tindakan yang mengancam keutuhan akidah, seperti doa lintas agama, merayakan hari raya agama lain, dsb. Seolah tertukar, peran ibu yang seharusnya mengajarkan dan menguatkan akidah anak-anaknya, justru diarahkan untuk menebarkan benih moderasi beragama dalam keluarganya. 
Faktanya, moderasi beragama bukan hanya program nasional, melainkan agenda global. Barat sebagai induk sistem kapitalisme, menekankan pentingnya mewujudkan toleransi dengan jalan moderasi beragama. Hal ini selalu dibenturkan dengan ektrimisme, radikalisme, dan tetorisme dengan makna yang dibuat oleh Barat sendiri. Dan jika kita lihat makna-makna tersebut akhirnya mendiskreditkan Islam. Ajaran Islam dianggap intoleran, jika ada yang menginginkan penerapan aturan Islam dan hanya membenarkan agama Islam, maka akan dilabeli ekstrimis, radikal, intoleran, dan seterusnya. Padahal, Islam mengajarkan toleransi beragama sedari dulu, tentunya dalam koridor syariah yang tidak merusak akidah.
Namun, karena saat ini sistem kapitalisme sekuler tengah mencengkeram dunia. Maka, setiap arahan dari induknya -Barat- wajib dijalankan. Terlepas dari pertimbangan penjagaan akidah umat, pemerintah justru akan selalu mengikuti arahan Barat yang terselubung dalam agenda-agenda global. 

Perempuan Pelita Umat Sejati
Perempuan memang mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Dalam kehidupan domestik yakni rumah, perempuan berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Di sini lah sebenarnya peran utama seorang perempuan. Sebagai seorang ibu, perempuan menjadi ‘madrosatul ula’ atau sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ibu berkewajiban membangun akidah anak-anaknya, mengajarkan akhlak, termasuk di dalamnya toleransi. Dalam hal ini tentu yang dimaksudkan adalah toleransi yang sesuai dengan batas-batas syari’ah.
Sedangkan dalam kehidupan publik, perempuan bisa berkiprah di berbagai sektor sesuai dengan keilmuan atau keahlian yang dia miliki. Perempuan bisa menjadi guru, tenaga kesehatan, pegawai administrasi, dll di tempat-tempat di mana ia tetap bisa menjaga ‘marwah dan izzah’ sebagai seorang muslimah. Maka tidak tepat jika ada yang mengatakan bahwa Islam mengkerdilkan potensi perempuan. 
Selain itu, perempuan juga memiliki kewajiban untuk berdakwah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar mulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga hingga ke masyarakat di mana dia hidup. Seorang muslimah tidak boleh diam saja melihat kemungkaran dan kemaksiatan yang terjadi di depan matanya. Ia wajib menyampaikan kebenaran Islam, termasuk juga memperjuangkan kebangkitan Islam. Karena hanya Islam lah yang bisa memberikan jaminan  kehormatan, keamanan, serta kebutuhan bagi perempuan.
 Dengan demikian, perempuan bisa maksimal menjalankan kewajibannya sebagai ‘ummu wa rabbatul bait’ atau ibu dan pengurus rumah tangga. Sehingga dari dalam rumah ini, akan terlahir anak-anak dengan akidah yang kuat dan memiliki semangat juang Islam. Mereka akan menjadikan Islam sebagai landasan dalam berbagai aktivitasnya, baik menuntut ilmu, bekerja, melakukan penilitian, menciptakan innovasi baru, semua didasarkan untuk memudahkan kehidupan dan ibadah kepada Allah.
Begitu pula dalam kehidupan publik, perempuan memiliki peran besar dalam melakukan perubahan. Suara-suara dan ide-ide perempuan seringkali mendobrak gerbang perubahan. Dengan potensi besar itu, seharusnya perempuan memperjuangkan Islam bukan malah diarahkan menjadi agen-agen moderasi. Yang justru akan melemahkan akidah, menjauhkan agama dari kehidupan, dan pada akhirnya akan merajalela kemaksiatan. 
Perjuangan Islam telah dilakukan oleh perempuan-perempuan sejak masa Rasulullah saw hingga pada masa kekhalifahan Islam. Seperti seorang shohabiyah yang bernama Asy-Syifa binti Abdullah, wanita cerdas yang menjadi kebanggaan umat Islam. Ia merupakan seorang ulama, pikiran serta jiwanya menjadi lahan subur bagi ilmu dan iman. Ia dikenal sebagai guru membaca dan menulis. Oleh karena itu, ia sering disebut sebagai guru pertama dalam Islam. Tak hanya menjadi guru baca dan tulis, As-Syifa juga turut menyebarkan Islam, memberikan nasihat kepada umat, dan pantang menyerah dalam menjelaskan kesalahan-kesalahan. 
Setelah Rasulullah saw wafat, Asy-Syifa menjalani hidup dengan menghormati serta turut memperjauangkan pemerintahan Islam. Ia terus mengabdikan dirinya dalam bidang ilmu demi kemajuan umat Islam. Begitu luasnya ilmu Asy-Syifa, hingga ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, seringkali meminta pendapatnya ketika mencari solusi dari permasalahan. Bahkan Umar bin Khattab mempercayakan urusan pasar kepadanya. 
Seperti itulah gambaran perempuan dalam sistem Islam. Mampu mencetak generasi emas berkepribadian Islam serta memiliki semangat juang tinggi untuk mempertahankan kemuliaan Islam. Dengan begitu mereka pun menjadi sosok-sosok yang mulia dan disegani. Seharusnya perempuan saat ini pun seperti itu, mendedikasikan diri untuk menjadi ibu dan pejuang Islam. Sehingga kemuliaan akan terwujud dalam dirinya. Wallahu a’lam.....
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT