Oleh: Cindy Chantika, S.Si (Aktivis Dakwah Kampus)
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding menyebutkan bahwa Lebih dari lima juta warga negara Indonesia menjadi pekerja imigran ilegal di luar negeri, menurutnya para PMI tersebar di 100 negara tujuan diantaranya Malaysia, Arab Saudi, Taiwan, Korea Selatan, dan Hongkong. Para pekerja migran yang juga tidak terdaftar alias ilegal tersebut seharusnya memang merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi Kementrian PPMI, disisi yang lain juga kondisi para PMI ilegal yang rawan mengalami eksploitasi dan menjadi tindak pidana perdangangan orang (TPPO). Ia juga menambahkan penyebab mereka bekerja ke luar negeri secara ilegal adalah karena mereka tidak memiliki keterampilan kemampuan atau skill yang dibutuhkan untuk bekerja di negara tujuan. (CNN Indonesia/16/11/2024).
Penyebab munculnya masalah PMI ini sangat berhubungan dengan tingginnya angka pengangguran dan rendahnya pendapatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok. masalah ini terjadi pada berbagai kelompok umat termasuk gen Z.
Kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri membuat sejumlah orang memilih untuk bekerja ke luar negeri, dengan harapan ketika mereka bekerja di negeri orang, mereka bisa memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Namun dengan kondisi ini negara justru masih memberikan ruang untuk masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke dalam negeri. Permasalahan pengangguran ini tidak lepas dari kebijakan yang pemerintah rumuskan terkait pembukaan lapangan kerja bagi masyarkat.
Tingginya angka pengangguran saat ini sangat membutuhkan solusi yang komprehensif. Negara tidak semestinya melimpahkan wewenangnya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Termasuk beberapa pihak, salah satunya korporasi yang berupaya membantu untuk menyelesaikan masalah ini seperti Bank Central Asia (BCA) mengupayakan Gen Z dapat berkembang untuk mencapai Indonesia emas tahun 2045 mendatang.
Menurut pihak BCA dengan berdasarkan data BPS (2023), sekitar 22% dari 44 juta jiwa populasi Gen Z di Indonesia akan menganggur. Bank swasta tersebut melakukan program pelatihan dan pengembangan untuk anggota meliputi lokakarya konversi, diskusi keuangan, kunjungan perusahaan, kompetisi perencanaan dampak bisnis, dan program pelatihan nasional.
Pertanyaannya, Cukupkah pelatihan memberi asa atas harapan generasi untuk memperoleh pekerjaan yang layak? Nyatanya, menurunnya akses masyarakat untuk bekerja—khususnya di sektor formal-bukan semata karena kurangnya skill atau aspek edukasi yang kurang mendukung. Sebabnya, pengangguran terdidik yang memiliki skill dengan tingkat pendidikan tinggi pun banyak.
Kondisi dalam negeri inilah yang membuat sebagian masyarakat memilih untuk menjadi tenaga kerja asing meski dengan cara ilegal. Sulitnya lapangan kerja, skill yang membutuhkan upgrade dari pemerintah, sistem birokrasi yang sulit ditambah gaji yang tidak layak mengakibatkan banyak masyarakat mencari pekerjaan ke luar negeri dengan harapan bisa hidup lebih baik.
Memanfaatkan kondisi ini, tidak jarang hadir agen-agen penyalur pekerja ke luar negeri yang ilegal. Tidak jarang pula, janji manis mereka berbuah pahit bagi pekerja. Harapan untuk memperoleh pekerjaan dan gaji yang layak hanyalah jebakan. Begitu tiba di luar negeri banyak di antara mereka yang ternyata menjalani profesi yang jauh dari layak. Miris, saat mencari bantuan untuk lepas dari agen-agen ilegal tersebut, akses ke pemerintah menjadi sulit karena kendala dokumen dan administrasi yang tidak sesuai.
Miris memang melihat kondisi di sektor ini, dari tahun ke tahun tidak pernah selesai, impitan kehidupan yang masyarakat rasakan merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalis sekuler sistem ini telah menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat. Akumulasi kekayaan di tangan segelintir orang telah menimbulkan kesulitan ekonomi di masyarakat. Kebijakan yang cenderung memihak pemilik modal juga menciptakan kesenjangan sosial dan kemiskinan struktural yang parah.
Meningkatnya arus jasa antarnegara akibat proses globalisasi saat ini membuat sumber daya manusia dalam negeri harus bersaing dengan sumber daya manusia lintas negara. Faktanya, banyak lulusan sekolah kejuruan/PT yang tidak terserap di dunia kerja. Di saat yang sama, negara banyak mengimpor TKA.
Demikian pula dengan rumusan kebijakan lainnya yang disebut akan menyolusi problem pengangguran. UU Cipta kerja, misalnya. Melalui UU Cipta Kerja pemerintah menganggap akan mampu membuka lapangan kerja yang luas.
Pada saat itu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dapat menjadi jawaban untuk masalah ketenagakerjaan. Nyatanya, merujuk BPS, bahwa sepanjang 2014 hingga 2024 terjadi tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, 8,5 juta orang yang terserap oleh lapangan pekerjaan di sektor formal. Sayang, angka ini ternyata turun menjadi dua juta orang pada periode kedua.
Demikian pula dengan program Kartu Prakerja yang pernah pemerintah andalkan untuk mengurai pengangguran. Nyatanya setelah Kartu Prakerja diluncurkan, sejak 2020 hingga 2023 angka pengangguran justru meningkat bahkan data terbaru tahun ini menunjukkan terdapat 9,9 juta Gen Z berstatus sebagai pengangguran.
Kondisi telah membuktikan berapa gagalnya negara menyelesaikan masalah pengangguran dengan sejumlah mekanisme yang menjanjikan terbukanya lapangan kerja. Bahkan, rakyat dipertontonkan sejumlah proyek negara yang mangkrak padahal menelan biaya fantastis.
Tentu ini berbeda dengan islam, islam telah memiliki mekanisme baku dalam menyelesaikan persoalan pengangguran.
Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam menyelesaikan seluruh persoalan rakyat, termasuk persoalan pengangguran. Penyediaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya merupakan tanggung jawab negara.
Ini berdasarkan keumuman hadis Rasulullah saw., “Seorang Imam (kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.” (HR Bukhari, 844).
Dalam riwayat lainnya, “Rasulullah saw. Pernah memberi dua dirham kepada seorang Anshar, lalu, ‘Belilah makanan seharga satu dirham dengan uang itu dan berikanlah kepada keluargamu. Dan sisanya belilah sebuah kapak dengan satu dirham dan bawa kapak itu kepadaku.’ Lalu Rasulullah membelah kayu dengan kapak tersebut, kemudian berkata, ‘Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah. Jangan kembali ke hadapanku, kecuali setelah 15 hari.’ Lelaki Anshar itu pun mencari kayu bakar lalu menjualnya. Setelah itu ia datang lagi kepada Rasulullah dengan membawa 10 dirham. Sebagian ia belikan baju dan sebagiannya lagi makanan.” (HR Ibnu Majah, 2189).
Kedua, Islam memiliki regulasi kepemilikan yang khas, menjadikan SDAE dikelola negara, swasta apalagi asing haram memiliki dan mengelolanya. Regulasi ini menjadikan sumber pendapatan negara melimpah sehingga mampu membangun negara tanpa bantuan utang atau investasi. Selain itu, pengelolaan SDAE yang mandiri menjadikan lapangan kerja terbuka secara lebar karena eksplorasi SDAE membutuhkan banyak SDM. Jika sektor tersebut dikelola negara, pembukaan lapangan kerja untuk rakyat bisa dioptimalkan.
Ketiga, menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan merata. Pendidikan dapat menjadi salah satu bekal untuk mencari pekerjaan. Dengan begitu, persoalan kurangnya skill atau ijazah yang rendah akan mudah terselesaikan. Pembangunan sekolah yang berkualitas dan menjangkau semua kalangan baik yang kaya ataupun miskin juga di desa dan di kota, sangat niscaya terwujud dengan pembiayaan berbasis baitulmal.
Pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya kepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki keterampilan untuk berkarya. Hal ini akan melahirkan generasi tangguh yang kuat secara mental maupun fisik. Selain itu, bukan materi semata yang ia impikan melainkan target capaian kontribusinya bagi majunya peradaban. Inilah yang menjadi jaminan setiap generasi termasuk Gen Z memiliki kepribadian Islam yang kukuh.
Keempat, jaminan kesejahteraan dalam Islam. Tersedianya lapangan pekerjaan adalah salah satu mekanisme Islam dalam menyejahterakan rakyatnya secara ekonomi. Bagi kepala rumah tangga laki-laki yang cacat/sakit atau yang tidak mampu bekerja, Islam memiliki mekanisme nonekonomi, yaitu dengan menyantuni keluarga tersebut.
Wallahu a’lam bish-showab