Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku tahun depan memicu pro dan kontra. Pemerintah mengklaim kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan pemasukan negara, mendukung pembangunan, dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, kenyataannya, langkah ini justru berisiko memperburuk kondisi ekonomi rakyat, terutama kelas menengah dan bawah yang sudah terhimpit dengan biaya hidup yang terus meningkat dan daya beli yang menurun. Ketika daya beli tertekan, pertumbuhan ekonomi pun terhambat, dan dampak jangka panjangnya bisa jauh lebih merugikan daripada sekadar menambah penerimaan negara dalam jangka pendek.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak menjadi sumber utama penerimaan negara, namun kebijakan ini cenderung menguntungkan segelintir pengusaha dan pemilik modal, sementara rakyat kecil semakin terbebani. Negara seharusnya memiliki sumber pendapatan yang lebih beragam, termasuk dari pengelolaan sumber daya alam yang adil untuk kepentingan rakyat. Pajak idealnya hanya menjadi alternatif terakhir ketika kas negara kosong.
Dengan ketergantungan yang semakin besar pada PPN, tanpa reformasi struktural yang mengurangi utang dan memperbaiki pengelolaan keuangan negara, kebijakan ini patut dipertanyakan apakah benar-benar berpihak pada rakyat. Jangan sampai kebijakan pajak semakin mencekik rakyat, sementara praktik korupsi dan pemborosan anggaran terus berlanjut. Indonesia membutuhkan sistem ekonomi yang lebih adil, yang tidak hanya bergantung pada pajak dan utang, untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.