Menyelami Akar Masalah Bunuh Diri di Kalangan Generasi Muda: Pentingnya Nalar Kritis dan Idealisme


author photo

20 Nov 2024 - 11.43 WIB


*_Fitriyana Baralangi_*
fitriyana.baralangi@gmail.com
0813-4798-4258/0813-4502-6213

Kasus bunuh diri di kalangan generasi muda semakin sering terjadi dan menjadi perhatian serius di tengah masyarakat. Fenomena ini tidak hanya menyisakan duka, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam tentang akar masalahnya. Mengapa banyak anak muda menjadikan bunuh diri sebagai solusi dari persoalan hidup? Salah satu jawabannya terletak pada cara berpikir yang instan, pragmatis, dan jauh dari tradisi nalar kritis.

Ketika menghadapi tekanan atau kegagalan, sebagian anak muda memilih jalan pintas karena merasa tidak memiliki solusi yang cukup. Mereka kehilangan kemampuan untuk menganalisis masalah secara mendalam, mencari alternatif, dan memahami bahwa kehidupan adalah rangkaian perjuangan yang membutuhkan ketahanan mental. Akibatnya, keputusan yang diambil sering kali impulsif dan tragis.

*Pentingnya Tradisi Nalar Kritis*

Tradisi nalar kritis harus ditanamkan sejak dini agar generasi muda memiliki kemampuan untuk menghadapi tekanan hidup dengan cara yang lebih bijaksana. Nalar kritis membantu seseorang memandang masalah dari berbagai sudut pandang, mengevaluasi alternatif solusi, dan mengambil keputusan yang lebih rasional. Selain itu, idealisme sebagai pegangan hidup juga perlu dikuatkan. Idealisme memberikan arah dan tujuan yang jelas, sehingga seseorang tidak mudah menyerah meskipun menghadapi kesulitan.

Sekolah, keluarga, dan masyarakat memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir ini. Pendidikan harus lebih menekankan pada kemampuan berpikir kritis, bukan hanya menghafal materi. Keluarga harus menjadi tempat yang aman untuk berdiskusi, tanpa memberikan tekanan berlebihan kepada anak. Sementara itu, masyarakat harus menciptakan budaya yang mendukung dialog dan toleransi, bukan hanya menghakimi.

*Gelisah Melihat Anak Muda yang Memilih Mengakhiri Hidup*

Hati saya terenyuh setiap kali membaca berita tentang kasus bunuh diri yang menimpa anak-anak muda kita. Sebagai pengamat sosial yang telah belasan tahun berkecimpung di dunia pendidikan, saya melihat ada yang tidak beres dengan cara pandang generasi sekarang dalam menyikapi masalah.

Saya teringat percakapan dengan seorang siswa beberapa waktu lalu. Dia bercerita bagaimana temannya merasa hidupnya sudah tidak ada gunanya hanya karena tidak diterima di universitas impiannya. "Pak, dia bilang lebih baik mati daripada mengecewakan orang tua," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Sungguh miris mendengarnya.

Di Bekasi, kita dikejutkan dengan kasus serupa pada 2021 lalu. Seorang remaja memutuskan mengakhiri hidupnya karena gagal masuk PTN. Belum lagi kasus mahasiswa di Makassar yang terjerat utang pinjol hingga nekat bunuh diri. Mereka seolah kehilangan kemampuan untuk melihat alternatif jalan keluar dari masalah yang dihadapi.

Saya sering berdiskusi dengan rekan-rekan guru tentang fenomena ini. Kami sepakat bahwa ada yang hilang dalam proses pendidikan kita: kemampuan bernalar kritis. Anak-anak muda sekarang terlalu dimanjakan dengan solusi instan. Ketika menghadapi masalah, mereka mencari jalan pintas - termasuk mengakhiri hidup - alih-alih mengurai masalah dengan kepala dingin.

Di kelas, saya selalu mendorong siswa untuk mempertanyakan segala sesuatu. "Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan," begitu saya sering mengingatkan mereka. "Yang ada hanyalah keterbatasan kita dalam melihat solusi." Saya mengajak mereka berdiskusi tentang berbagai isu, dari yang ringan sampai berat, agar terbiasa berpikir dari berbagai sudut pandang.

Sebagai orang tua, kita juga perlu introspeksi. Berapa kali kita memberi ruang bagi anak untuk gagal? Atau justru kita terlalu memaksakan ekspektasi yang membebani mereka? Saya ingat bagaimana anak saya pernah stres berat karena merasa tidak bisa memenuhi harapan saya. Sejak saat itu, saya belajar untuk lebih mendengarkan dan mendukung, bukan menghakimi.

Mari kita mulai dari lingkungan terdekat. Jadikan rumah sebagai tempat yang aman untuk berbagi keluh kesah. Beri ruang bagi anak muda untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi. Ajarkan mereka bahwa kegagalan adalah bagian dari proses pembelajaran, bukan akhir dari segalanya.

Saya yakin, dengan merawat nalar kritis dan menanamkan idealisme yang sehat, kita bisa membantu generasi muda melihat hidup dengan lebih optimis. Mereka perlu tahu bahwa di balik setiap masalah, selalu ada harapan dan jalan keluar. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mencari dan kesabaran untuk menemukan.

*Refleksi Akhir*

Masalah bunuh diri di kalangan generasi muda bukan hanya persoalan individu, tetapi juga cerminan dari budaya berpikir instan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Dengan merawat tradisi nalar kritis dan menanamkan idealisme, kita dapat membantu anak muda melihat kehidupan sebagai sesuatu yang layak diperjuangkan, meskipun penuh tantangan. Mari bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan perkembangan pola pikir yang lebih konstruktif.
Bagikan:
KOMENTAR