Keadilan Sosial dan Gender: Memahami Interseksionalitas Dalam Masyarakat Aceh


author photo

27 Nov 2024 - 15.36 WIB


Oleh: Rachel Maryam 
Prodi: Ilmu politik 
Universitas: Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 

Aceh dikenal sebagai daerah yang sangat kental dengan nilai-nilai Islam. Namun, interpretasi agama sering kali bervariasi dan dapat mempengaruhi posisi gender dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, ajaran agama dapat digunakan untuk memperkuat norma-norma patriaki, yang berpotensi membatasi hak perempuan. Disisi lain, ada juga interpretasi progresif yang berupaya menegaskan kesetaraan gender dalam konteks ajaran Islam. Di Aceh, identitas gender sering kali diwarnai oleh norma-norma sosial dan agama yang kuat. Peran gender tradisional yang kaku dapat membatasi hak-hak perempuan dan menciptakan ketidakadilan. Misalnya, perempuan Aceh mungkin diharapkan untuk mematuhi peran domestik, sementara laki-laki sering kali memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan dan peluang kerja.

Sejarah Aceh mencatat peran besar perempuan, seperti Laksamana Malahayati dan Cut Nyak Dien, yang menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi pimpinan yang kuat dan dihormati. Namun, dalam realita modern, perempuan Aceh sering menghadapi tantangan yang kompleks, seperti akses terbatas terhadap pendidikan, deskripsi berbasis gender, dan keterbatasan ruang publik. Misalnya seorang perempuan Aceh yang berasal dari keluarga miskin mungkin menghadapi tantangan ganda: pertama, karena posisinya sebagai seorang perempuan dalam masyarakat patriarkal, dan kedua, karena status sosial-ekonominya. Hal ini menunjukkan bahwa isu gender tidak dapat di pisahkan dari faktor lain seperti ekonomi dan kelas sosial.

Penerapan Syariat Islam di Aceh sering kali menimbulkan dampak terkait terhadap keadilan sosial dan gender. Beberapa kebijakan dianggap mendukung perlindungan perempuan, seperti larangan eksploitasi dan kekerasan seksual. Namun di sisi lain, beberapa regulasi dapat memperkuat stereotip gender dan membatasi kebebasan perempuan, terutama terkait cara berpakaian dan aktivitas di ruang publik. Pendekatan Interseksionalitas dapat membuat masyarakat Aceh menyoroti bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi berbagai kelompok perempuan, termasuk perempuan dari komunitas marginal, konflik kepentingan, atau agama minoritas. 

Namun, dengan semakin banyaknya perempuan Aceh yang berpendidikan dan berkarier, kita mulai melihat perubahan positif. Interseksionalitas membantu kita memahami bahwa meskipun perempuan mungkin menghadapi tantangan karena gender mereka, identitas lain seperti kelas sosial atau latar belakang etnis juga mempengaruhi pengalaman mereka. Sebagai contoh, perempuan dari keluarga kurang mampu mungkin menghadapi lebih banyak hambatan di bandingkan dengan perempuan dari keluarga yang lebih mapan.

Ketidakadilan sosial juga dapat di lihat dari aspek ekonomi dan pendidikan. Perempuan di Aceh yang masih menghadapi hambatan dalam akses pendidikan dan kesempatan kerja. Stereotip gender yang menganggap perempuan sebagai pengurus rumah tangga sering kali menghalangi mereka untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, Interseksionalitas membantu kita memahami bahwa perempuan yang berasal dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah mungkin menghadapi lebih banyak tantangan di bandingkan dengan perempuan dari latar belakang yang lebih mapan.

Dalam perjuangan mencapai keadilan sosial, peran laki-laki tidak boleh di abaikan. Interseksionalitas juga mengakui bahwa laki-laki dapat menjadi korban sistem patriarki, terutama mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah atau menghadapi diskriminasi lainnya. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan dialog yang inklusif agar laki-laki dan perempuan dapat bekerja sama mengatasi ketidakadilan struktural. Keadilan sosial berkenaan dengan distribusi sumber daya dan hak-hak yang setara bagi semua individu. Dalam konteks Aceh keadilan sosial dapat terlihat dari upaya pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. Namun, tantangan tetap ada, terutama ketika berbicara tentang Interseksionalitas. Di Aceh, terdapat sejumlah organisasi dan komunitas yang berjuang untuk keadilan gender dan sosial.

Melalui pendekatan Interseksionalitas, mereka berupaya untuk menciptakan program-program yang menyasar berbagai kelompok yang terpinggirkan. Misalnya, program yang mendukung perempuan dengan disabilitas atau perempuan dari kelompok minoritas dapat membantu mengatasi ketidakadilan yang lebih kompleks. Dengan memanfaatkan jaringan sosial dan teknologi, aktivisme ini dapat menjangkau lebih banyak individu dan meningkatkan kesadaran tentang isu-isu ini. Pendidikan juga dapat menjadi kunci untuk membangun kesadaran akan pentingnya keadilan sosial dan gender. Sekolah-sekolah di Aceh dapat berperan sebagai agen perubahan dengan mengintegrasikan kurikulum yang mencakup isu Interseksionalitas.
Bagikan:
KOMENTAR