Oleh: Aulia Manda, S.Pd., M.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Perdagangan, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula saat yang bersangkutan menjabat Mendag pada 2015-2016 lalu.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, mengatakan impor gula kristal putih seharusnya hanya dilakukan BUMN, namun mantan Menteri Perdagangan mengizinkan PT AP untuk mengimpor.
"Dan memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah 105.000 ton kepada PT AP," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan. (BBCNewsIndonesia/29/10/2024).
Kasus yang lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P menduga putusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani dugaan kasus gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep sarat intervensi. Hal tersebut disampaikan Hasto saat menanggapi pernyataan KPK yang menyatakan, pemberian fasilitas kepada putra bungsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) itu bukanlah gratifikasi. “Kita melihat tampilan ada seorang anak presiden yang nyata-nyata itu merupakan bagian dari bentuk gratifikasi, tetapi ada akrobat hukum, sehingga dikatakan tidak ada gratifikasi,” ujar Hasto kepada wartawan di Tangerang, Banten. (Kompas/3/11/2024).
Diberitakan sebelumnya, KPK memutuskan bahwa fasilitas pesawat jet pribadi yang digunakan Kaesang Pangarep ke Amerika Serikat, bukan termasuk gratifikasi.
Sebab, Kaesang bukan penyelenggara negara dan sudah hidup terpisah dari orangtua. "Bahwa yang bersangkutan bukan penyelenggara negara, sudah terpisah dari orangtuanya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta. (Kompas/1/11/2024).
Sangat memprihatinkan korupsi masih marak di Indonesia, mirisnya penanganan berbeda dilakukan oleh negara. Contoh kasus korupsi impor gula dan kasus jet.
Korupsi masih menjadi masalah di dunia hari ini termasuk Indonesia. Sekalipun dilakukan berbagai upaya untuk melakukan penghapusan korupsi tetapi pemerintah tak mampu memberantas. Salah satu sebabnya karena rusaknya hukum di Indonesia, sebenarnya bisa dilihat melalui sistem itu sendiri. Jika ditelusuri maka ada beberapa penyebab korupsi itu semakin bebas di negeri ini, antara satu sebab dengan sebab yang lain saling berkolaborasi:
Pertama, sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang tercipta menyatu dalam diri politis, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semuanya tidak jauh beda bahkan sama saja.
Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politis, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Untuk balik modal, terjadilah 'cara-cara legal tapi curang' atau 'curang tapi legal', seperti proses tender yang sudah diatur, yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat adalah penyelewengan dan korupsi.
Ketiga, hukuman terhadap koruptor tidak menciptakan efek jera dan gentar. Berdasarkan riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar koruptor hanya dihukum 2 tahun oleh pengadilan. Setelah dikurangi remisi dan pengurangan masa tahanan lain, koruptor sebenarnya hanya menjalani hukuman penjara yang singkat.
Keempat, sebagian besar koruptor yang tertangkap berada dalam link kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa koruptor yang terbabat lebih karena tebang pilih atau karena apes saja. Sebab, faktanya betapa banyak pihak-pihak yang sudah terduga kuat sebagai koruptor tetap saja melenggang bebas. Sebagi contoh, misal koruptor kasus BLBI dan koruptor kasus Bank Century, semua adalah pemangku jabatan bahkan penggerak rezim yang ada. Namun semua lolos. Bahkan kasusnya pun menguap begitu saja.
Kelima, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor pun tidak jera. Bahkan tebang pilih dalam penegakan hukum.
Inilah gambaran penegakan hukum dalam sistem sekuler kapitalisme, dimana yang kuat yang menang. Apalagi kekuasaan dapat memainkan hukum.
Jadi, sangat jelaslah dengan lima sebab mengapa sampai hari ini masih merajalelanya koruptor di Indonesia, sehingga ketika dilakukan upaya penghapusan korupsi dalam sistem kapitalisme mustahil akan diberantas, karena sistem politiknya yaitu demokrasi meniscayakan adanya praktek korupsi mengingat adanya politik transaksional berbiaya tinggi.
Karena itu mustahil pemberantasan korupsi dalam sistem kapitalisme hari ini bisa diberantas. Jauh berbeda didalam Islam. Islam memiliki mekanisme yang jelas dalam memberantas korupsi bahkan juga aspek pencegahan Islam menutup celah korupsi termasuk dengan menjadikan rakyat sejahtera sebagai tujuan yang harus diwujudkan.
Bebas dari Korupsi Hanya dengan Islam
Bebas dari korupsi tentunya hanya bisa tercapai jika pemberantasan korupsi dilakukan menggunakan sistem Islam. Sebab sistem yang ada, baik diakui atau tidak, justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi. Sistem Islam mampu memberantas korupsi, hal ini mengingat:
Pertama, dasar akidah Islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politis, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat. Negara diwajibkan terus membina ketakwaan itu. Lahirlah kontrol dan pengawasan internal yang bulit-ini menyatu dalam diri pemimpin, politis, pejabat, aparat dan pegawai, yang bisa mencegah mereka untuk korupsi.
Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Sebab kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan Khalifah. Sehingga, tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Juga tidak muncul ketamakan melakukan korupsi untuk balik modal.
Ketiga, politis dan proses politik, kekuasaan dan pemerintah tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa. Anggota majelis umat tidak memiliki kekuasaan politik dan anggaran sehingga mafia anggaran tidak terjadi. Sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem Demokrasi.
Keempat, struktur dan sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan Khalifah, sehingga ketidak paduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak akan terjadi. Artinya, sistem politik Islam tidak mengenal adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti dalam sistem pemerintahan Demokrasi (trias politika) sehingga menutup celah adanya konflik kelembagaan.
Kelima, praktek korupsi andai terjadi, bisa diberantas dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar tidak terjadi. Dalam syariah, kriteria harta ghulul itu jelas. Harta yang diambil atau ditilap di luar imbalan legal, harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan dan sebagainya sekalipun disebut hadiah, harta pejabat, aparat, dan lain-lain, yang melebihi kewajaran yang tidak bisa dibuktikan diperoleh secara legal, semua itu termasuk harta ghulul (haram).
Diakhirat harta tersebut akan mendatangkan azab. Allah berfirman "Barang siapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya."(QS. Ali Imran: 161). Nabi Saw bersabda: "Siapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah ghulul." (HR. Abu Daud)
Sanksi bagi pelaku pun mampu memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Sebagai bagian dari ta'zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi (hakim). Bisa hukumannya dengan penjara atau ditahan dalam waktu yang lama, dicambuk hingga hukuman mati sebagaimana yang pernah dilakukan para oleh Khalifah bagi para pelaku koruptor.
Sehingga, hanya dengan mengembalikan hukum Islamlah, semua problem bisa diselesaikan, termasuk masalah pemberantasan korupsi ini. Pasalnya, syariah Islam diturunkan Allah SWT, yang maha tahu segalanya, sehingga Allah SWT pasti tahu apa yang terbaik untuk makhluknya. Jadi syariah Islam dalam sistem yang paling tepat untuk menyelesaikan karut marut pemberantasan korupsi yang sudah kronis di negeri ini. Sistem hukum islampun menjamin tegaknya hukum karena semua orang sama di hadapan hukum.
Wallahu alam bish-shawab