Diskriminasi, menjadi salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum dan dilarang berdasarkan hukum hak asasi manusia (HAM). Adapun diskriminasi interseksionalitas dalam isu gender terjadi karena berbagai faktor yang saling tumpang tindih. Interseksionalitas ini sendiri adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan konsep bahwa dalam hubungan sosial terdapat berbagai bentuk diskriminasi yang saling terkait. Ini menjelaskan bahwa seseorang mungkin mengalami beberapa bentuk diskriminasi, seperti seksisme, rasisme, dan ableism, pada saat yang bersamaan.
Perempuan dan keadilan adalah dua konsep yang masih dianggap berbeda dan kontras oleh masyarakat Aceh. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan seringkali menciptakan harapan sosial mengenai apakah suatu perilaku dianggap pantas atau tidak. Akhirnya, gender mempengaruhi perbedaan dalam hal hak, sumber daya, dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh melaksanakan kegiatan stadium general dan diskusi publik yang melibatkan dua narasumber yaitu Dessy Setiawaty dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan di Indonesia (YKPI) dan Bayu Satria pendiri Youth ID dan pejuang hak anak. Kedua narasumber tersebut berhasil memaparkan terkait interseksionalitas dalam perspektif gender terhadap keadilan sosial terkhususnya di Aceh.
Dalam pemaparannya, Dessy Setiawaty mengatakan bahwa pentingnya perubahan pandangan masyarakat terhadap isu gender yang ada di Aceh. “Memulai perubahan pandangan sosial dimulai dari diri kita sendiri. Kesadaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh masyarakat guna memberikan pemahaman tentang pentingnya kesataraan gender. Menguatkan perempuan dengan memberikan alat dan sumber daya merupakan langkah penting dalam mencapai keadilan sosial,” ucap Dessy. Hal tersebut menggambarkan bahwa pemberdayaan perempuan tidak hanya memberikan manfaat bagi individu, tetapi juga memperkuat komunitas dan pembangunan sosial secara menyeluruh.
Dalam sesi berikutnya, Bayu Satria menjelaskan lebih dalam tentang pentingnya memahami identitas ganda dan bagaimana hal itu mempengaruhi aksesibilitas serta peluang individu. “Privilege dan kerentanan tidak bisa hanya dinilai dari permukaannya saja, tetapi juga membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam. Ini membantu kita untuk memahami kekuatan, hambatan, dan keterbatasan akses dalam kehidupan mereka,” ujar bayu.
Bayu mengimbau generasi muda, seperti mahasiswa untuk lebih aktif menciptakan lingkungan yang inklusif. Ia memberi contoh, mahasiswa dapat melakukan penelitian dan diskusi yang membahas tentang aksesibilitas bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. ”Misalnya, banyak bagian kampus yang masih kekurangan fasilitas yang ramah terhadap kelompok rentan. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kebutuhan tersebut,” jelasnya.
Maka dari itu, khususnya kita sebagai anak muda memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan sosial terhadap interseksionalitas gender yang ada di Aceh. Hal tersebut dapat melalui pendidikan, teknologi, aktivisme, dan niali-nilai budaya. Dengan adanya niat untuk mengembangkan diri dan lingkungan, maka akan banyak ruang dan peluang dalam melahirkan dampak-dampak yang positif.(Ulya Mustanirah prodi ilmu politik Uin Ar-Raniry Banda Aceh)