Wakil Rakyat, Benarkah Melayani Rakyat?


author photo

14 Okt 2024 - 17.20 WIB


Oleh: Aulia Manda, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)

Sebanyak 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi dilantik untuk masa bakti periode 2024-2029. Lima tahun ke depan, ratusan anggota dewan di Senayan diharapkan mampu untuk berpihak dan mewakili kepentingan rakyat luas. (Tirto/02/10/2024)

Anggota DPR RI periode 2024-2029 tidak akan mendapatkan fasilitas rumah dinas. Sebagai penggantinya, para anggota dewan akan diberikan tunjangan perumahan. Berdasarkan riset awal hunian di sekitar Kompleks Parlemen, kisaran tunjangan yang akan diberikan kisarannya Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per bulan. Tapi jumlah ini belum disepakati.

Sekjen DPR RI mengatakan setelah tidak lagi dihuni para anggota dewan, rumah dinas ini akan dikembalikan kepada negara. “Jadi rumah itu nantinya akan kita kembalikan ke negara melalui Kementerian Keuangan dan Setneg.” (Kumparan News/3/10/2024).

Anggota DPR adalah wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasi rakyat. namun juga membuat aturan/UU. Realita hari ini, ada banyak hubungan antara satu dengan yang lain, sehingga rawan konflik kepentingan.  Apalagi hari ini bisa dikatakan tidak ada oposisi, semua menjadi koalisi. 

Siapa yang  berpihak pada rakyat kalau semua berada dalam satu barisan? Yang juga membela kepentingan oligarki. Rakyat terabaikan dan tak mampu melawan.

Dalam sistem hari ini, wakil rakyat dipilih bukan karena kemampuannya, namun karena kekayaan atau jabatan, dalam mekanisme politik transaksional.

Maka, ini adalah sebuah konsekuensi tegaknya sistem demokrasi yang menjadi wadah bagi penerapan ideologi sekuler kapitalisme. Itu semua termaktub dalam payung besar konsep politik transaksional yang merusak integritas pemilu dan menjadi bibit lahirnya pemimpin koruptif. Politik transaksional tidak hanya terjadi dalam bentuk jual beli suara antara kontestan dengan pemilih, tetapi juga terjadi antarkontestan dan antarparpol. Salah satu faktor yang bisa menyuburkan politik transaksional ini adalah kondisi pendapatan per kapita mayoritas penduduk Indonesia yang masih rendah sehingga banyak dimanfaatkan oleh para politisi untuk membeli suara rakyat.

Politik transaksional juga rawan diwarnai praktik jual beli hukum oleh oknum penegak hukum. Ada istilah “industri hukum”, yakni peraturan hukum dibuat oleh pemesan atau terjadi praktik jual beli hukum. Tidak heran akhirnya para anggota dewan bekerja hanya demi uang, fasilitas, dan tunjangan. Itu pun jika benar mereka bekerja. Kinerja yang tampak agak serius hanya soal melegislasi UU yang tidak lain UU sekuler liberal yang rawan menggadaikan aset negara bahkan akidah dan pemikiran lurus di tengah-tengah umat.

Jika sudah begini, solusinya tidak cukup dengan adanya sosok para pemimpin (eksekutif), wakil rakyat (legislatif), maupun pejabat peradilan (yudikatif) yang memiliki integritas, kompeten, dan berwibawa. Politik dinasti dan politik transaksional melibatkan semua pilar demokrasi tersebut. Dengan demikian, solusinya harus menyeluruh, yakni dengan revolusi sistemis.

Jelas hal tersebut berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam ada Majelis ummah, yang menjadi wakil rakyat, dipilih oleh rakyat karena merupakan representaasi umat.  

Tugasnya  menyampaikan aspirasi, namun tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan. Mereka disebut “Majelis Umat” karena merupakan wakil umat dalam melakukan muhasabah (koreksi dan kontrol) dan syura (musyawarah).

Keberadaan Majelis Umat ini berbeda secara diametral dengan parlemen di dalam sistem demokrasi. Parlemen memiliki fungsi anggaran dan legislasi hukum (undang-undang) yang tidak semestinya menjadi bagian dari tugas wakil rakyat. 

Dalam Islam, penetapan anggaran dilakukan oleh struktur tersendiri, yakni baitulmal. Sedangkan legislasi hukum bukan dalam konteks membuat hukum, melainkan tabani (adopsi) hukum dari Al-Qur’an dan Sunah oleh khalifah.

Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat/bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum muhajirin dan ansar yang mewakili kaum mereka. Ada orang-orang tertentu di antara para sahabat yang beliau minta pendapat mereka, di antaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, dan Hudzaifah. Demikian juga terdapat sejumlah dalil yang menyeru kaum muslim untuk mengontrol dan mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hâkim). Kaum muslim melanjutkan aktivitas mengoreksi para pejabat pemerintahan itu pada masa khulafaurasyidin dan para khalifah setelahnya.

Selain memiliki hak untuk mengangkat wakil dalam menjalankan syura/musyawah, umat juga berhak mengangkat wakil dalam menjalankan aktivitas muhasabah. Semua itu menunjukkan kebolehan untuk membentuk majelis yang secara khusus mewakili umat dalam mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan serta melakukan musyawarah.

Anggota Majelis Umat dipilih melalui pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukan karena mereka merupakan wakil-wakil masyarakat dalam mengemukakan pendapat. Wakil dipilih oleh muwakil (orang yang mewakilkan). Seorang wakil tidak boleh dipaksakan kepada muwakil sama sekali. Selain itu, Majelis Umat merupakan representasi masyarakat, baik individu-individu maupun kelompok-kelompok, dalam mengemukakan pendapat. Untuk mengetahui wakil dalam wilayah yang luas, sedangkan mereka tidak dikenal maka hal itu tidak akan terwujud kecuali bagi orang-orang yang dipilih untuk menjadi wakil mereka.

Rasulullah saw. tidak memilih orang yang menjadi rujukan beliau dalam masalah pendapat berdasarkan asas kemampuan, kapabilitas, dan kepribadian mereka. Akan tetapi, beliau memilih mereka berdasarkan dua asas. 

Pertama, mereka adalah para pemimpin kelompok mereka, tanpa memandang kapasitas dan kemampuan mereka. Kedua, mereka adalah representasi dari kaum muhajirin dan ansar.

Tujuan yang menjadi alasan keberadaan ahlusyura (orang-orang yang diajak bermusyawarah) adalah mewakili masyarakat secara representatif. Oleh karena itu, ada dua asas pemilihan anggota Majelis Umat. Pertama, harus mewakili masyarakat secara representatif (tamtsîl li an-nâs) seperti halnya kondisi yang menjadi pijakan Rasulullah dalam memilih para penanggung jawab (nuqabâ’). Kedua, mewakili kelompok secara representatif seperti halnya kondisi yang menjadi pijakan Rasulullah saw. dalam memilih wakil dari kaum muhajirin dan ansar.

Agar orang-orang yang tidak dikenal dapat mewakili individu-individu, kelompok-kelompok, dan masyarakat secara representatif maka hal itu direalisasikan melalui pemilu. Dengan demikian, pemilu untuk memilih para anggota Majelis Umat merupakan keharusan.

Nonmuslim yang menjadi warga negara dalam sistem Islam boleh menjadi anggota Majelis Umat dalam rangka menyampaikan pengaduan tentang kezaliman penguasa kepada mereka, keburukan penerapan Islam terhadap mereka, juga dalam masalah tidak tersedianya berbagai pelayanan bagi mereka, dan yang semisalnya.

Wallahualam bish-shawab.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT