Badai PHK Satu Keniscayaan dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme


author photo

13 Okt 2024 - 18.24 WIB



Oleh: Ainayyah Nur Fauzih, S.Pd (Aktivis Dakwah Kampus)


Dalam pusaran sistem ekonomi kapitalisme, badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bukanlah fenomena yang mengejutkan, melainkan sebuah keniscayaan. Tahun 2024 menjadi tahun yang sulit bagi pekerja di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 53.000 orang. Sektor yang paling terdampak adalah sektor pengolahan dengan 24.013 pekerja terkena PHK, disusul oleh sektor jasa dengan 12.853 pekerja, serta sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang kehilangan 3.997 pekerja. (Finance Detik/26/09/2024), 

 Tiga provinsi di Indonesia mencatat angka PHK tertinggi, yaitu Jawa Tengah dengan 14.767 pekerja, Banten dengan 9.114 pekerja, dan DKI Jakarta dengan 7.469 pekerja. Badai PHK ini diperkirakan akan memberikan dampak yang fantastis, baik terhadap perekonomian masyarakat maupun peningkatan angka pengangguran. Hal ini juga tercermin dari kasus PT Panamtex, di mana 510 karyawannya terancam kehilangan pekerjaan akibat putusan pailit dari Pengadilan Negeri Semarang, yang memicu aksi protes dari para pekerja. (Cnbc Indonesia/28/09/2024).

Maraknya PHK adalah akibat kesalahan paradigma ketenagakerjaan dan industri yang diterapkan negara yang menggunakan sistem kapitalisme. Sistemm ini mendorong persaingan bebas di mana perusahaan harus beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kondisi pasar, teknologi, atau tren konsumen. Ketika permintaan menurun, biaya produksi meningkat atau terjadi krisis ekonomi, perusahaan-perusahaan sering kali memilih untuk mengurangi biaya, salah satunya dengan memberhentikan pekerja. Sistem Kapitalisme menetapkan kebijakan liberalisasi ekonomi yang merupakan bentuk lepasnya tanggung jawab negara dalam menjamin terbukanya lapangan kerja yang luas dan memadai.

Selama negara mengadopsi sistem kapitalisme, harapan buruh untuk mencapai kesejahteraan yang diimpikan tampaknya tidak akan terwujud. Dalam sistem kapitalisme, pihak yang keluar sebagai pemenang adalah mereka yang memiliki modal terbesar. Kekayaan dan kepemilikan di berbagai sektor industri hanya berputar di kalangan orang-orang kapitalis. Selain itu, liberalisasi ekonomi juga berarti minimnya peran negara dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Salah satu contohnya adalah munculnya UU Cipta Kerja yang ditolak oleh buruh tetapi didukung oleh para pengusaha.

Setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU tersebut inkonstitusional dengan syarat, pemerintah tidak tinggal diam. Mereka mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sebagai pengganti UU Cipta Kerja. Perppu ini dianggap bermasalah dari segi prosedur dan masih memuat pasal-pasal yang merugikan buruh, termasuk pasal 64 yang memperbolehkan praktik tenaga alih daya (outsourcing) semakin meluas. Pasal tersebut mengizinkan penggunaan outsourcing untuk segala jenis pekerjaan. Saat ini, praktik outsourcing sering kali merugikan pekerja dengan adanya kontrak kerja yang pendek, jam kerja yang tidak jelas, dan risiko PHK yang tinggi.

UU Omnibus Law Cipta Kerja telah menjadi sorotan publik, terutama terkait dengan kemudahan yang diberikan kepada perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam konteks ini, kebijakan tersebut seolah-olah memprioritaskan kepentingan perusahaan dan pemilik modal, sementara nasib pekerja menjadi terabaikan. Dengan adanya ketentuan yang memperbolehkan perusahaan untuk melakukan PHK secara lebih fleksibel, kondisi kerja bagi buruh semakin tidak aman. Hal ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan mengurangi jaminan sosial bagi pekerja yang terdampak. Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, kebijakan ini justru menghadirkan ketidakpastian yang lebih besar dalam dunia ketenagakerjaan.

Di sisi lain, UU ini juga memberikan kemudahan yang signifikan bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia. Syarat-syarat yang dulunya ketat kini dipermudah, sehingga mempermudah masuknya TKA tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap tenaga kerja lokal. Sementara buruh lokal harus bersaing dengan TKA yang mungkin tidak hanya memiliki keterampilan lebih tinggi, tetapi juga bisa menerima upah yang lebih rendah. Kebijakan ini mengundang kekhawatiran bahwa pemerintah lebih mementingkan investasi jangka pendek daripada pembangunan sumber daya manusia yang berkelanjutan. Pada akhirnya, ini menciptakan kesenjangan yang lebih dalam antara pekerja lokal dan asing, serta mengabaikan perlindungan yang seharusnya menjadi hak fundamental bagi seluruh pekerja.

Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan masyarakat diukur berdasarkan terpenuhinya kebutuhan setiap individu. Masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme, sehingga solusinya harus bersifat mendasar dan fundamental. Dalam konteks ini, sistem ekonomi Islam dapat memberikan solusi untuk permasalahan yang dihadapi buruh dan pekerja. 

Pertama, sistem ini mengatur kepemilikan harta, baik secara individu, umum, maupun negara. Dengan kejelasan dalam status kepemilikan, negara dapat mengelola aset-aset publik demi kepentingan masyarakat. Islam melarang penyerahan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta, sehingga negara memiliki wewenang untuk membangun industri strategis seperti pengolahan minyak, pengelolaan tambang, dan pertanian, yang pada gilirannya dapat menciptakan banyak lapangan kerja serta meningkatkan keterampilan masyarakat.

Kedua, mendorong individu bekerja. Negara dapat memberikan modal atau insentif agar rakyat dapat memulai usahanya. Negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka dapat bekerja pada beragam jenis industri dan pekerjaan. Dalam Islam tidak ada istilah orang menganggur.

Ketiga, menetapkan standar gaji buruh sesuai ketentuan Islam, yaitu berdasarkan manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan biaya hidup (living cost) terendah. Dengan begitu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan.

Jika terjadi perselisihan antara buruh dan majikan dalam menetapkan upah, pakar (khubara’) yang dipilih dari kedua belah pihak akan menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, negara memilihkan pakar dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Dengan pengaturan semacam ini, tidak perlu ada penetapan Upah Minimum Regional (UMR), karena baik harga maupun upah merupakan kompensasi yang diterima. Bedanya, harga adalah kompensasi atas barang, sedangkan upah merupakan kompensasi atas jasa. 

Sistem kapitalisme terbukti gagal dalam menjamin dan melindungi kesejahteraan pekerja. Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh, badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat dicegah dan ditangani dengan lebih efektif dan tepat.
والله أعلم بالصواب
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT