Pelecehan Seksual oleh Pahlawan Kesehatan, Salah Korban atau Pelaku?


author photo

15 Sep 2024 - 13.29 WIB


Penulis: Yulita Andriani, A. Md.Rad (Daiyah dan Pengamat Sosial)


Seorang wanita berusia 20 tahun diduga menjadi korban pelecehan oknum dokter saat menjalani pemeriksaan kesehatan disebuah klinik di Kota Balikpapan Sabtu (31/8/2024) akhir pekan lalu. Kabar ini pun viral setelah video korban bersama rekan-rekannya beredar dimedia sosial yang sedang memintai pertanggungjawaban dokter tersebut. 
Dalam video tersebut, terdengar suara seorang wanita menangis memintai penjelasan dokter tersebut mengenai tindakan yang diduga mengarah pada pelecehan. Rekan-rekan korban pun kemudian turut memintai penjelasan. 
Namun dokter yang kemudian diketahui berinisial FT tersebut mengelak dan membantah tuduhan tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan menurutnya telah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). (Sumber: https://korankaltim.com/read/balikpapan/73652/ramai-soal-dugaan-pelecehan-oknum-dokter-di-balikpapan-kuasa-hukum-sebut-tuduhan-tak-berdasar).
Menjadi menarik untuk disikapi, apakah kita harus berbaik sangka saja bahwa itu memang prosedur pemeriksaan ataukah kita menyalahkan pasien yang menjadi korban bahwa mereka terlalu berlebihan dalam menyikapi prosedur pemeriksaan atau memang telah terjadi pelecehan seksual oleh pihak pemeriksa kesehatan tersebut. Dibalik semua itu, apa akar masalahnya?
Sistem Pelayanan Kesehatan dalam Kapitalisme, Memungkinkan Terjadinya Pelecehan Seksual
Penyalahgunaan wewenang sebagai cara melakukan pelecehan seksual ternyata berkali-kali terjadi. Cherrie A Galletly dalam Medical Journal of Australia (MJA) tahun 2004, mengemukakan 3-10 persen dokter mengaku pernah melakukan hubungan seksual dengan pasien. Di Australia, survei yang melibatkan psikiater laki-laki mengemukakan 7,6 persen responden pernah melakukan kontak erotis kepada pasien selama atau setelah terapi usai.
Rod Moser, PA, PhD, seorang asisten dokter profesional, mengamini bahwa terdapat batasan yang abu-abu antara pelecehan berkedok pemeriksaan dengan pemeriksaan sesuai prosedur. Pasalnya, banyak pasien tidak mengetahui di tingkat mana mereka masih bisa dikatakan “aman” dalam pemeriksaan.
Di sisi lain, tenaga medis juga seringkali tak menjelaskan secara gamblang tindakan medis yang mereka lakukan. Akibatnya, bisa terjadi salah persepsi. Ia menyarankan perlunya penjelasan untuk setiap tindakan medis. Jika dokter melakukan pemeriksaan payudara untuk menganalisis keluarnya darah, ia perlu menjelaskan alasan menekan mamae pasien. “Jika Anda tidak memberi tahu mereka, maka Anda dalam masalah besar!” 
Sementara itu, untuk mengantisipasi kesalahpahaman dan menjaga pasien dari pelecehan. Dewan Medis Selandia Baru menetapkan perilaku-perilaku yang digolongkan sebagai pelecehan seksual oleh tenaga medis. (Sumber: Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual oleh Tenaga Medis (tirto.id)). 
Dalam kasus seperti ini biasanya Majelis Kehormatan Etika PPNI akan meminta keterangan kepada terduga pelaku apakah benar-benar melakukan pelanggaran etik atau tidak. Ia mengatakan meski pelaku sudah mengakui perbuatannya namun PPNI tetap akan pemeriksaan etik. Pemeriksaan ini untuk memastikan sanksi bagi pelaku. Ada empat hal yang diatur dalam kode etik perawat terhadap klien (Bagaimana Agar Kasus Pelecehan Pasien oleh Perawat Tak Terulang? (tirto.id)) :
1. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
2. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien.
3. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhan keperawatan.
4. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Islam memandang bahwa hubungan seksual adalah bagian dari naluri seksual (gharizah nau’). Naluri berbeda dengan kebutuhan dalam hal kemunculan dan pemenuhannya. Kebutuhan akan makan, minum, dan buang hajat, muncul dari dalam diri secara otomatis sekalipun tidak ada rangsangan dari luar. Jika tidak dipenuhi, tubuh akan mengalami kerusakan yang bisa membawa pada kematian. Orang yang tidak makan berhari-hari, misalnya, bisa menderita kelaparan dan mati karenanya. Sedangkan naluri, tidak muncul secara otomatis dari dalam diri, melainkan jika ada rangsangan dari luar. Jika rangsangan tersebut tidak ada, naluri tidak muncul. Jika naluri ini tidak dipenuhi, akibat yang timbul hanya perasaan gelisah dan tidak nyaman. 
Dengan demikian, menempatkan naluri seksual sebagai suatu kebutuhan, bahkan hak asasi manusia, adalah suatu kesalahan besar. Sebabnya, jika tidak terpenuhi, naluri seksual tidak akan berakibat pada penderitaan dan kematian. Buktinya, banyak orang yang hidup tanpa menikah atau tidak pernah menyalurkan hasrat seksualnya, tetapi hidupnya baik-baik saja.
Ini berbeda dengan pandangan Sigmun Freud, ia menyatakan bahwa menyatakan bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang dirasakan oleh manusia semenjak kecil. Setiap manusia memiliki hasrat ini dan pemenuhannya adalah sama sebagaimana pemenuhan berbagai kebutuhan manusia lainnya.
Alhasil, hasrat ini dijadikan kebutuhan, yaitu kebutuhan biologis. Tidak boleh ada yang menghambat individu untuk menikmati hak-hak seksual mereka. Untuk menjamin hak ini tertunaikan, kesehatan reproduksi menjadi hal penting dan harus dijamin sehingga perlu ada aturan negara yang memastikan setiap individu mendapatkan hak ini.
Islam juga memandang bahwa hasrat cinta dan naluri seksual diciptakan Allah pada manusia untuk melestarikan kelangsungan jenisnya. Dengan naluri ini, laki-laki dan perempuan bisa berpasangan dan melahirkan keturunan. Allah menghendaki keturunan manusia adalah keturunan yang berkualitas, diasuh dan dididik sebaik-baiknya, dijamin akan nafkahnya, dibesarkan dalam suasana kasih sayang, dan keteladanan untuk menjadi muslim paripurna. Proses ini hanya dimungkinkan jika anak menjadi tanggung jawab bersama antara ayah dan ibunya. Oleh karenanya, Islam membatasi lahirnya keturunan hanya dari institusi pernikahan.
Allah Swt. berfirman, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS An-Nisa: 1).
Di luar institusi pernikahan, Islam melarang dan mencegah munculnya hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan. Ini karena di luar pernikahan, tujuan melestarikan jenis manusia tidak mungkin untuk dicapai. Sekalipun demikian, Islam tidak menafikan kenikmatan dari hubungan seksual. Hanya saja, Islam tidak menjadikannya sebagai tujuan pernikahan, melainkan bentuk ungkapan kasih sayang antara suami-istri.
Maka, terkait mengatasi pelecehan seksual yang terjadi di kehidupan umum, Islam sudah memberikan banyak perangkat pencegahannya, tidak hanya pada individu tapi juga mencakup sistemnya, dimana negara wajib menghentikan hal-hal yang bertujuan merusak akal dan kehormatan manusia, seperti peredaran narkoba, miras, pornografi dan pornoaksi, hingga pembatasan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan umum. 
Laki-laki dan Perempuan dalam Islam bahkan diperintahkan menundukkan pandangan dan dilarang memandang dengan syahwat, maka ketika didasari pada iman kepada Allah SWT, takut akan dosa dan azab Allah, ditambah sanksi yang tegas dari negara sesungguhnya akan mengatasi kasus pelecehan seksual dikehidupan publik termasuk dibidang kesehatan.
kebijakan pelayanan kesehatan Islam bagi terawatnya kesehatan sistem reproduksi dan potensi berketurunan generasi berlangsung di atas sejumlah prinsip sahih. Maraknya rangsangan seksual dalam kehidupan liberal mendorong tindak pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Termasuk dokter yang seharusnya bekerja sesuai dengan prosedurnya. Tidak cukup korban berani untuk speak up tapi perempuan butuh perlindungan menyeluruh sehingga dia aman di mana, kapan dan dengan siapa saja.  
Maka, upaya promotif, preventif, dan kuratif steril dari unsur fahisyah (perbuatan keji) dan industrialisasi sehingga meniscayakan tercapainya maslahat yang maksimal terhadap potensi berketurunan setiap individu. Juga meniscayakan terwujudnya kebahagiaan, kesejahteraan, kemuliaan, ketenangan, dan terhindarnya masyarakat dari kebejatan moral dan kerendahan tingkah laku.

Di antara prinsip sahih tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Islam berpandangan bahwa Allah Swt. menciptakan naluri seks demi kelestarian ras manusia. Firman-Nya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Kedua, aktivitas kehidupan manusia wajib terikat dengan hukum syarak dengan dorongan meraih rida Allah Swt. sebagai puncak kebahagiaan yang diupayakan secara sungguh-sungguh oleh setiap muslim, termasuk yang terkait dengan kemunculan dan pemenuhan naluri seks.
Juga dalam pemenuhan kebutuhan fisik terawatnya kesehatan sistem reproduksi setiap insan. Firman-Nya, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghambakan diri kepada Allah Taala.”
Ketiga, Islam berpandangan bahwa kesehatan adalah puncak kepentingan dan kenikmatan yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw., “Mohonlah ampunan dan afiat (kesehatan) kepada Allah karena seseorang tidaklah diberi sesuatu yang lebih baik setelah keimanan dari afiat.” (HR Ibnu Majah).
Juga sabdanya, “Sesungguhnya perkara seorang hamba yang pertama kali dihisab pada Hari Kiamat adalah bahwasanya ia akan ditanya, ‘Bukankah telah diberikan kesehatan jasadmu.’” (HR Hakim). Alhasil, setiap individu akan berupaya merawat kesehatannya dan dimanfaatkan untuk ketaatan kepada Allah Taala.
Keempat, Islam menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik bukan jasa dan komoditas komersial. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).
Kelima, negara adalah pihak yang berada di garda terdepan, bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan, berikut berbagai pilar sistem kesehatan.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabdanya, “Imam/khalifah itu laksana gembala, dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap yang digembalakannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallaahu’alam bish-shoiwwab.
Bagikan:
KOMENTAR