AIR GALON DAN LEVEL KESEJAHTERAAN RAKYAT, RELEVANKAH?


author photo

18 Sep 2024 - 08.04 WIB


Oleh : Hafizah D.A.

Seberapa menggelikannya pernyataan Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bappenas era Presiden Jokowi, Bambang Brodjonegoro?

Menurut Bambang, turunnya level ekonomi masyarakat kelas menengah ke kelas menengah rentan dan masyarakat rentan miskin salah satunya disebabkan oleh gaya hidup golongan tersebut dalam membelanjakan uang mereka untuk membeli air galon dan air dalam kemasan. Air siap konsumsi ini memang memiliki harga jual yang lebih tinggi dibandingkan air permukaan atau air tanah yang belum diolah, atau bahkan air PDAM dengan kualitas seadanya. Karena membutuhkan proses produksi yang berteknologi canggih untuk dapat langsung diminum. Sehingga kualitasnya pun lebih baik dari ketiga jenis air tersebut.

Bambang bahkan menambahkan bahwa di Negara maju, masyarakat kelas menengah tak perlu buang-buang duit untuk gaya hidup seperti itu. Karena negaranya telah menyediakan air bersih siap minum dari keran-keran yang bahkan  disediakan di fasilitas-fasilitas umum.

Bukankah pernyataan ini blunder? Maka siapakah sebenarnya yang menciptakan kondisi bagi rakyat untuk terpaksa menggelontorkan pengeluaran rumah tangga lebih demi biaya air sehari-hari?

KAPITALISASI KEBUTUHAN PUBLIK

Sebenarnya, hal ini menunjukkaan bagaimana watak pemerintahan kapitalis-sekuler. Bagi mereka, rakyat harus mengurusi urusannya secara mandiri. Termasuk memenuhi kebutuhan dasar dan fasilitas publik.

Perusahaan pengolah dan penyalur air layak konsumsi untuk rakyat adalah bentuk badan milik negara yang sahamnya dapat dimiliki oleh publik (PDAM) ataupun kerja sama dengan pihak swasta (PAM). Jelas saja berhitung untung adalah bentuk dasar layanannya. Tak peduli kualitas air produksi juga debit air yang menurun karena pertambahan jumlah pelanggan sementara jumlah air yang didistribusikan tak meningkat.

Belum lagi jika musim kemarau tiba. Negara yang curah hujannya melimpah ini, sekitar 2000-3000 mm per tahun, masih saja mengalami krisis air tiap musim kemarau. Hasil penelitian akademisi berupa gerakan memanen hujan hanya disebarkan sebagai saran negara kepada masyarakat. Ataupun berupa gerakan mandiri individu dan kelompok sadar lingkungan. Sedangkan gerakan restorasi sungai dianggap memakan biaya mahal yang tak bisa didukung oleh keuangan negara. Akhirnya mengandalkan investasi swasta yang mindsetnya cuan.

Sementara, Proyek Strategis Nasional dan perkebunan monokultur masif dilakukan. Dengan mengorbankan hutan-hutan lindung yang membuat cadangan air pun makin berkurang karena tak ada lagi pohon-pohon yang mengikat air. Irigasi  perkebunan monokultur memblokir aliran sungai, membuat masyarakat kekurangan air.  Pencemaran sungai pun tak terelakkan akibat limbah proyek dan pertambangan.

Di sisi lain, negara justru memberikan lahan dengan luas area besar beserta sumber mata air untuk dikuasai oleh pihak swasta. Merekalah yang memiliki perusahaan air galon atau air minum siap konsumsi dalam kemasan. Berbisnis kebutuhan dasar air kepada masyarakat demi untung besar.

Alhasil, masyarakat dua kali kena getahnya. Sudahlah akses air bersih dibatasi, lalu mereka harus membayar lagi untuk membeli air dari pihak swasta.

Ironisnya, masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan airnya dengan membuat sumur galian mandiri dihambat dengan aturan pajak. Tak salah alasannya demi mempertahankan laju turunnya muka tanah. Tapi apakah pemerintah punya solusi yang berpihak pada rakyat?

AIR DAN PEMENUHANNYA

Dalam Islam, privatisasi dan kapitalisasi air adalah haram. Karena air merupakan kepemilikan bersama masyarakat, yang jika tidak ada atau kehadirannya diprivatisasi akan menimbulkan bahaya ataupun konflik di masyarakat. “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Islam juga memberikan tanggung jawab kepada negara mengelola dan mendistribusikan kebutuhan air secara merata dan berkualitas kepada masyarakat. Ada tanggung jawab akhirat pada amanah kepemimpinan. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw.: “Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Harga air yang diberikan kepada rakyat pun hanya sekedar harga pengolahan. Jikapun mengambil keuntungan dari pengelolaan sumber daya air, maka dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk subsidi atau untuk pembangunan fasilitas publik. 

Negara dengan modal sendiri yang akan melakukan pembangunan infrastruktur penampung dan pengalir air hujan atau pengumpul air dari sumbernya. Seperti bendungan, waduk, kanal dan danau buatan. Penelitian dan inovasi teknologi yang dilakukan oleh para akademisi akan dijadikan rujukan dan diaplikasikan oleh Negara. Kas baitul mal sangat mumpuni menjamin kebutuhan dasar tanpa perlu investasi swasta.

Negara juga akan mengatur pembangunan dengan mindset ra'in. Sehingga akan mendukung pelestarian lingkungan dan ekosistem sekaligus menjaga keberlangsungan dan ketersediaan sumber air di alam.  Termasuk mencegah laju penebangan hutan yang tak terkendali dan tak terarah demi menjaga cadangan air di alam. 

Masyarakat yang terbentuk dari sistem Islam kaffah akan berfungsi sebagai pengontrol kebijakan pembangunan yang berkelanjutan terhadap alam serta tidak menyimpang dari hukum syariat. Mereka juga akan menerapkan gaya hidup anti mubazir dan saling mengingatkan satu sama lain.

Demikianlah saat Islam diterapkan di setiap lini kehidupan. Tentu mendatangkan mashlahat karena aturannya bersumber langsung dari Allah SWT, Sang Pencipta sekaligus Sang Pengatur kehidupan seluruh makhluk di alam semesta. Wallahu a'lam.
Bagikan:
KOMENTAR