Asuransi Bukan Hanya Memberatkan Rakyat, Tanggung Jawabnya Akhirat


author photo

25 Jul 2024 - 09.47 WIB


Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Sosial)

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menilai, rencana pemerintah mewajibkan seluruh kendaraan bermotor, seperti motor dan mobil, didaftarkan asuransi third party liability (TPL) mulai 2025 memberatkan masyarakat. Hal tersebut dikatakan Cak Imin merespons pernyataan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono yang menyebut, pemberlakuan asuransi TPL menunggu peraturan pemerintah (PP) (Kompas.com, 18/07/2024)

Sebagai informasi, TPL adalah asuransi yang menanggung risiko tuntutan ganti rugi dari pihak ketiga saat kendaraan yang ditumpangi menimbulkan kerugian pada orang lain. Misalnya, saat seseorang mengalami kecelakaan lalu lintas, korban juga mengalami kerugian material, seperti kerusakan kendaraan maupun fasilitas. Korban akan menerima ganti kerugian secara material dan santunan dari asuransi bila kendaraan sudah didaftarkan asuransi TPL.

Cak Imin menyarankan agar pemerintah mengoptimalkan dan mendorong peran Jasa Raharja ketimbang membebani masyarakat dengan asuransi TPL. Adapun, Jasa Raharja adalah perusahaan asuransi sosial yang dimiliki negara. Perusahaan ini bertanggung jawab atas pengelolaan asuransi kecelakaan lalu lintas. 

Lahan Basah Untuk Meraup Cuan

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, tujuan pemerintah ingin memberlakukan asuransi TPL supaya masyarakat mendapat perlindungan secara finansial yang lebih baik. Menurutnya, masyarakat akan terlindungi karena beban finansial yang harus ditanggung jika terjadi kecelakaan menjadi berkurang. Pemerintah juga berharap pemberlakuan asuransi TPL mewujudkan perilaku berkendara di jalan raya yang lebih baik.

Sekilas, rencana pemberlakuan wajib asuransi kendaraan TPL ini dapat meringankan beban masyarakat karena menjadi solusi penyelesaian ganti rugi akibat kecelakaan atau mengurangi kerugian material. Namun tetap saja hal tersebut akan memberatkan rakyat. Apalagi keadaan rakyat hari ini sangat terpuruk. Sudahlah kemiskinan semakin tinggi, rakyat pun kenyang dengan pungutan ini-itu. Lihatlah Tapera, iuran BPJS, kenaikan pajak, dan yang terbaru wajib asuransi kendaraan TPL ini. Meskipun, TPL belum diketok palu, tetapi wacananya telah bergulir. Ini artinya, rakyat tinggal menunggu waktu.

Di sisi lain, jika kebijakan asuransi TPL ini bersifat wajib, maka diproyeksikan akan menjadi "lahan basah" bagi pemerintah untuk mencari pemasukan negara. Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, potensi uang yang terkumpul dari iuran asuransi itu lebih dari Rp6,3 triliun per tahun. Bahkan angka tersebut baru hasil hitung-hitungan pengenaan iuran dari kendaraan bermotor (Economy.okezone.com, 20/07/2024). 

Fakta ini semakin memperlihatkan bahwa asuransi kendaraan TPL hanya akal-akalan pemerintah saja untuk memeras uang rakyat. Sekaligus menunjukkan, negara ingin berlepas tangan dari tanggung jawabnya dalam mengurusi urusan rakyatnya. Masyarakat pun diminta menyelesaikan masalahnya secara mandiri dengan dalih asuransi perlindungan. 

Inilah potret buram penerapan sistem kapitalisme. Negara sangat perhitungan dengan rakyat. Hubungan rakyat dan pemimpin pun bagai penjual dan pembeli. Jika rakyat ingin mendapatkan fasilitas ataupun perlindungan, rakyat disyaratkan membayar asuransi dan sejumlah iuran lainnya. Penguasa bahkan tidak ubahnya kehilangan hati nurani ketika realitasnya banyak rakyatnya yang sengsara akibat kebijakan yang diterapkan.

Asuransi dalam Islam

Dalam buku Sistem Ekonomi Islam karya Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, asuransi jiwa, barang, hak milik, atau yang lain adalah salah satu bentuk akad.  Asuransi merupakan akad antara perusahaan asuransi dan tertanggung (insured). Pihak tertanggung meminta komitmen perusahaan asuransi untuk memberikan ganti rugi (pertanggungan) kepada yang bersangkutan. Bisa jadi pertanggungan berupa barang, sebagai ganti rugi atas barang yang hilang; atau berupa uang pertanggungan yang terkait dengan barang atau hak milik; atau bisa berupa uang pertanggungan terkait dengan jiwa dan sejenisnya. Termasuk jika ada kejadian yang menimpa pihak tertanggung dalam jangka waktu tertentu, sebagai ganti rugi dalam bentuk uang tertentu.  Perusahaan asuransi, sebagai pihak penanggung (penjamin), menerimanya. 

Berdasarkan ijab dan kabul semacam ini, perusahaan asuransi berkomitmen untuk memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung sesuai dengan persyaratan tertentu yang telah disetujui oleh pihak kedua;  baik berupa barang yang dihilangkan, atau berupa harga pada saat terjadinya peristiwa, atau berupa uang yang telah disepakati. 

Dalam Islam, hukum asuransi secara keseluruhan adalah haram. Hukum ini mencakup semua jenis asuransi, baik asuransi jiwa, asuransi barang, atau asuransi harta benda dan lain-lain. Keharamannya terletak pada akadnya (transaksi) yang batil. Selain itu, janji yang diberikan oleh perusahaan asuransi pada saat penandatanganan polis asuransi adalan janji yang batil. Dengan demikian, perolehan harta melalui transaksi yang sejenis atau perjanjian semacam ini adalah haram. Dikategorikan memakan harta dengan cara yang batil, dan termasuk dalam kategori harta-harta yang kotor. 

Oleh karena itu, sangatlah tidak pantas ketika negara menjadikan asuransi sebagai salah satu sumber pendapatan negara meskipun dalihnya demi melindungi atau meringankan beban masyarakat. Asuransi bukan hanya memberatkan rakyat, tapi pertanggungjawabannya hingga akhirat. Sebab, penerapan kebijakan asuransi dalam bingkai kapitalisme menegaskan bahwa negara telah melegalkan pelanggaran hukum syariat. Wallahualam bish shawab.
Bagikan:
KOMENTAR