Menguak Penyebab Menurunnya Penggunaan Bahasa Aceh di Kalangan Generasi Muda


author photo

11 Mar 2024 - 12.28 WIB


Oleh : Cut Chusnul Agmeliani
Mahasiswi S1 Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry dan Peminat Komunikasi Politik
(icutt204@gmail.com)


Bahasa Aceh memiliki kedudukan sebagai bahasa resmi dan bahasa persatuan di Aceh. Bahasa Aceh sendiri memiliki ciri khas yang sangat unik yaitu, pada kaidah bahasa Aceh berupa pemerian vokal dengan ditambah pembubuhan tanda-tanda diakritik dan aturan pada persesuaian pronomina yang harus diserangkaikan dengan kata yang mengikutinya. Contohnya, gulè (sayur), gulé (guling). Sekilas kedua kata tersebut terlihat sama namun aslinya mereka memiliki arti yang sangat jauh berbeda, hal itu di karenakan terdapat penambahan akritik pada huruf e sehingga dapat membedakan makna antar kata. 

Hal tersebut merupakan salah satu contoh dasar bahasa Aceh. Sayangnya generasi muda Aceh saat ini mulai melupakan bahasa daerahnya sendiri. Mereka merasa bahasa Aceh adalah bahasa yang kuno dan tidak menarik untuk dipelajari. Dalam wawancara bersama Rosni Idham S.E. Salah satu tokoh Sastrawan dan Budayawan Aceh Barat mengatakan turut prihatin dengan keadaan generasi muda saat ini yang mulai melupakan bahasa Aceh.

“ Kita merasa sangat prihatin melihat situasi dan keadaan anak-anak kita sekarang, bahkan sampai ke desa-desapun mereka mulai melupakan bahasa Aceh. Mereka merasa bahasa Aceh adalah bahasa yang kuno sehingga mereka sudah tidak berminat lagi untuk berbahasa ibu atau bahasa Aceh dan juga tidak berkeinginan lagi untuk mempelajari dasar-dasar dan struktur bahasa Aceh.” Ungkap tokoh Sastrawan dan Budayawan itu ketika melakukan wawancara dengan saya melalui via online mengenai fenomena kurangnya penggunaan bahasa Aceh pada Ahad, 10 Maret 2024.

Hal ini berbanding terbalik dengan tokoh ahli bahasa Mark Durie asal Australia yang sangat menguasai bahasa Aceh bahkan sampai pada kata-kata yang tidak pernah terdengar lagi dilidah penutur asli. Dia begitu mencintai dan dalam mempelajari bahasa Aceh bahkan ia banyak menerbitkan buku tentang bahasa Aceh salah satunya adalah A grammer of Acehnese : on the basis of dialect of North Aceh. Kita patut merasa malu dimana orang luar malah lebih mencintai bahasa Aceh ketimbang kita etnis Aceh asli yang mulai menyepelekan dan menomor duakan bahasa ibu kita.

Menurut Bu Rosni Idham faktor utama yang menyebabkan generasi muda ini kurang mennggunakan bahasa Aceh dalam komunikasi sehari-hari yaitu adalah faktor rumah tangga. Patutnya ketika dirumah orang tua melakukan komunikasi dengan anak menggunakan bahasa ibu. Karena ketika di sekolah pasti anak secara ototmatis akan pandai berbahasa Indonesia,  ketika di PAUD, TK, SD dan seterusnya di lingkungan inilah mereka telah menggunakan dan mempelajari tentang bahasa Indonesia. Maka dari itu orang tua tidak perlu khawatir anak mengalami kesusahan bersosialisasi nantinya.


Berbeda halnya dengan bahasa daerah jika tidak dilakukan dari rumah dan ditambah lagi bila lingkungan pergaulan anak menggunakan bahasa Indonesia juga maka dipastikan  bahasa Aceh akan hilang dan punah. Dikhawatirkan hal ini berdampak pada identitas budaya Aceh yang dapat tergerus dan hilang. Menanggapi masalah ini Balai Bahasa Provinsi Aceh (BBPA) berencana melakukan revetalisasi pada bahasa Aceh dan Gayo di tahun 2024 dikarenakan jumlah penuturnya semakin sedikit dan menurun sejak tahun 2019. 
Dilansir dari web ANTARA, Kepala BBPA Umar Solikhan mengatakan pada forum  pembukaan kegiatan revitalisasi bahasa Aceh dan Gayo Banda Aceh(6/3/2024) akan melakukan revitalisasi pada bahasa Aceh dan Gayo agar dapat terus meningkat di generasi muda dikarenakan mereka yang akan menjadi tunas atau pelaku bahasa.


Kegiatan ini akan dilakukan pada enam titik wilayah yang terjangkau seperti di Pidie, Aceh Besar, dan Banda Aceh dan untuk daerah revitalisasi bahasa Gayo di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. 
Adapun sasaran utama dari kegiatan ini adalah generasi muda terutama pada anak-anak yang berada dibangku SD dan SMP.

Bu Rosni Idham juga menghimbau Lembaga MAA (Majelis Adat Aceh) untuk lebih peduli tentang bahasa Aceh dengan melakukan pelatihan-pelatihan khusus. Karena pada upacara-upacara adat bahasa utama yang digunakan adalah bahasa Aceh, maka dengan adanya pelatihan tersebut sebagai upaya pelestarian adat dan bahasa Aceh.


Adapun upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat perlombaan yang berkaitan dengan bahasa Aceh. Pada acara PKA yang ke-8 terdapat perlombaan seni tutur dimana seni berbalas pantun yang dilakukan pada acara pernikahan. Ini merupakan upaya yang sangat baik dan patut untuk terus dikembangkan. Acara lain yang bisa ditambahkan pada acara PKA selanjutnya adalah seperti lomba debat dalam bahasa Aceh, lomba menulis puisi Aceh, lomba menulis syair Aceh. Melalui perlombaan ini di harapkan generasi muda dapat lebih mencintai budaya dan bahasa Aceh. Dengan begitu kebudayaan Aceh akan terus terjaga dan terlestarikan.
Bagikan:
KOMENTAR
 
Copyright @ 2014-2019 - Radar Informasi Indonesia, PT