Pada pertengahan Juli tahun ini, acara temu komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) se-ASEAN yang akan diselenggarakan di Jakarta telah dibatalkan karena mendapat kecaman luas dari publik. Kecaman tersebut datang dari berbagai pihak yaitu Majelis Ulama Indonesia, pihak istana dan gelombang anti-LGBT di sosial media.
Sementara acara K-Pop Dance Cover Competition pada September tahun lalu yang akan dilaksanakan di Balikpapan juga dibatalkan karena terindikasi sebagai acara LGBT. Apalagi Swaggy Waacky Dance Crew sebagai penyelenggara acara tersebut belum mendapat izin. (nomorsatukaltim.com, 12/07/2023)
Walaupun acara pertemuan tersebut dibatalkan, tidak dapat dikatakan bahwa komunitas LGBT sudah tidak ada. Gerakan LGBT di Indonesia semakin meluas dan terorganisir dengan baik. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI Jazuli Juwaini mengungkapkan, meskipun pertemuan komunitas LGBT dibatalkan, namun fraksi PKS melihat ada upaya dan kampanye terbuka LGBT dengan berbagai cara dan sarana di negeri ini. (news.republika.co.id, 13/07/2023)
Peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia dan Transfobia (IDAHOBIT) diperingati sejak 2017 di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Purwokerto. Hal tersebut dianggap sebagai penguat dukungan masyarakat terhadap keberadaan LGBT di Indonesia.
Ada juga gerakan arus pelangi yang didirikan pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta. Visi gerakan ini adalah terwujudnya tatanan masyarakat yang bersendikan nilai-nilai kesetaraan, berperilaku dan menghargai hak-hak komunitas LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseks) sebagai hak asasi manusia.
Narasi yang menjadi dasar bahwa pelaku LGBT juga memiliki hak asasi sebagaimana hak semua orang. Seperti yang tertuang dalam pasal 1 Deklarasi universal HAM yang dideklarasikan PBB pada tahun 1948 yaitu “[semua] manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak”.
Tahun 2006, ahli HAM internasional dari berbagai negara bertemu di Yogyakarta. International Comission of Jurists dan International Service for Human Right, atas nama koalisi organisasi HAM menyusun The Yogyakarta Principle.
The Yogyakarta Principle memuat 29 prinsip penerapan hukum HAM dan kaitannya dengan orientasi seksual atau identitas gender. Prinsip ini menjadi pedoman negara-negara di dunia dalam melaksanakan kewajiban untuk memenuhi HAM berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender.
PBB selalu mengampanyekan agar LGBT dilindungi oleh semua negara dan pelakunya diterima sebagai warga negara yang memiliki orientasi seksual yang berbeda bukan menyimpang. PBB pada Juli 2013 melalui ONHCR memiliki program khusus UN Free&Equal. Hal tersebut adalah kampanye informasi publik global PBB yang ditujukan untuk mengiklankan persamaan hak dan perlakuan adil terhadap pelaku LGBTI.
UNDP, badan PBB yang lain secara masif melakukan beragam upaya agar komunitas LGBT diterima di semua negara serta tidak didiskriminasi. Tahun 2013 UNDP mengucurkan dana US$ 8 juta (sekitar Rp 108 M) mengadakan proyek “Being LGBTI in Asia” yang fokus pada empat negara yakni Indonesia, China, Filipina dan Thailand dan memimpin upaya untuk mengembangkan inklusi LGBTI.
Negeri mayoritas muslim terbesar dunia ini patut waspada terutama masuknya ide-ide kebebasan yang menyasar generasi mudanya. Bahkan selama enam dekade terakhir, promosi gaya hidup LGBT telah meningkat dan sulit dipisahkan dari kehidupan modern. Meskipun pertemuan komunitas LGBT se-ASEAN yang akan digelar di Jakarta telah dibatalkan. Namun, Hasil survei nasional yang dilakukan SMRC 2018 menunjukkan 57,7% publik berpendapat bahwa LGBT memiliki hak hidup di Indonesia, sedangkan 41,1% berpendapat sebaliknya.
LGBT merupakan gerakan politik ideologis yang terorganisir serta disponsori AS sang kampiun kapitalis Barat dan dan korporasi swasta mereka, kampanye juga menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang disebut “pink capitalism” karena komunitas ini adalah pasar besar bagi kapitalis dengan profit miliaran dolar.
Inilah yang disebut “pink money” atau “pink capitalism”, yaitu gabungan gerakan LGBT ke dalam dinamika kapitalisme yang menyiratkan komersialisasi komunitas itu dalam industri gaya hidup kapitalisme yang mengeksploitasi syahwat dan sangat berpengaruh pada generasi muda.
Pada tahun 2015, daya beli gabungan populasi dewasa LGBT AS diperkirakan mencapai 917 miliar dolar (Witeck Communications, 2016). Pink capitalism kini menjadi makin masif karena didukung oleh korporasi kapitalis, seperti Starbucks, Apple, Facebook, Instagram, dan sebagainya.
Di Asia sendiri, pink money adalah metode paling cepat terserap pada generasi muda, termasuk generasi muda muslim di Indonesia dan Malaysia. Sehingga LGBT akhirnya semakin diterima sebagai gaya hidup melalui industri budaya populernya.
Produk-produk hiburan, seperti anime ‘Fujoshi’ dari Jepang dan kemudian dikembangkan Thailand dengan industri seri Boy Love (BL)-nya yang digemari jutaan remaja perempuan Asia serta memiliki penghasilan hingga 1 miliar baht per tahun. Beberapa pihak menilai bahwa BL—sebagai soft power Thailand—melakukan untuk citra global bangsa Asia Tenggara, sebagaimana “ledakan yoga” untuk India atau K-pop untuk Korea Selatan. Walhasil, kampanye LGBT di Asia Tenggara makin masif dan disponsori kekuatan Barat, baik secara formal melalui PBB maupun secara informal melalui industri gaya hidup dalam bentuk film, musik, dan fesyen.
Dari penjelasan ini terlihat bahwa AS dan PBB akan terus berupaya mempromosikan LGBT. Bagi mereka, hal ini adalah bagian mendasar dari peradaban Barat yaitu terjaminnya nilai-nilai kebebasan. Ditambah keuntungan materi yang menggiurkan untuk membuka pasar LGBT di negeri-negeri muslim terutama menyasar generasi muda yang terbuka terhadap informasi dan teknologi.
Untuk menghadang laju gerakan LGBT ini dibutuhkan kekuatan yang besar, tidak cukup hanya penolakan dan kecaman, dibutuhkan upaya yang sistematis dan lebih terorganisir untuk mengimbangi kerusakan yang disponsori AS dan PBB ini. Umat Islam memerlukan pemimpin yang adil dan bervisi serta sistem yang mampu menghadang kerusakan yang dimotori oleh AS dan para korporasi kapitalis mereka.
Sebagaimana Nabi Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya, al-imam (khalifah) itu perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll.).
Apalagi umat Islam sudah memahami bahwa homoseksualitas adalah penyimpangan yang jelas-jelas melawan fitrah manusia. Allah Taala berfirman, “… wanita (istri) kalian adalah ladang bagimu. ….” (QS Al-Baqarah [2]: 223).
Ayat ini mengandung makna bahwa fitrah manusia adalah heteroseksual. Islam memberikan solusi tuntas terkait dorongan seksualitas seseorang, yakni melalui pernikahan. Islam juga sangat tegas memberikan sanksi bagi kaum homo dan lesbi sebagai perilaku menyimpang, sebagaimana laknat Allah Taala pada kaum Sodom yang menentang Nabi Luth.
Oleh karenanya, saat ini yang diperlukan adalah kembalinya pelindung umat yakni Khilafah sebagai satu-satunya sistem yang diperintahkan oleh Sang Pencipta seluruh umat manusia yang menunjukkan jalan yang lurus menuju luhurnya moral dan kehormatan manusia, serta kemakmuran hidup di bumi.
Pertanggungjawaban kita pada hari kiamat kelak pun hanya berdasarkan perintah dan larangan-Nya. Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS Ali Imran: 19). Wallahualam bissawab.