Muhammad Hafizh Zein, Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Antibiotic Growth Promotor atau biasa disingkat AGP merupakan antibiotik yang digunakan pada hewan dalam dosis rendah dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan performa hewan. Mekanisme kerjanya adalah dengan menekan perkembangan mikroorganisme merugikan yang ada di saluran pencernaan hewan sehingga penyerapan atau absorpsi nutrisi oleh hewan menjadi lebih efisien. Antibiotik sendiri diyakini dapat memicu terbentuknya senyawa-senyawa antimikroba, asam lemak bebas, dan zat-zat asam. Ketiga hal tersebut dapat menghasilkan lingkungan tumbuh yang kurang nyaman bagi bakteri patogen sehingga antibiotik dapat menekan pertumbuhan dan pertambahan populasi bakteri patogen.
Meskipun penggunaan AGP memberikan manfaat penting untuk hewan ternak, namun disisi lain AGP berpengaruh negatif bagi hewan dan manusia yang nantinya mengonsumsi hewan tersebut. Beberapa pengaruh negatif AGP antara lain adalah menyebabkan resistensi mikroorganisme dan menghasilkan residu antibiotik yang mana akan terbawa keproduk-produk ternak sehingga berbahaya bagi manusia. Resistensi mikroorganisme adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek anti mikroba sehingga tidak efektif dalam penggunaan klinis. Hal itu berarti penggunaan AGP berkelanjutan akan membuat mikroorganisme yang ada menjadi kebal terhadap AGP.
Efek negatif AGP bagi hewan dan manusia membuat pemerintah mengeluarkan larangan penggunaan AGP. Larangan ini merupakan bentuk tindaklanjut dari UU No.18 tahun 2009 pasal 22:4c yang berbunyi “Setiap orang dilarang menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan atau antibiotik imbuhan pakan. ”Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan terdapat dalam Pasal 16 Permentan No 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 17 menjelaskan tentang penambahan obat hewan yang dicampur dalam pakan untuk terapi sesuai dengan petunjuk dan dibawah pengawasan dokter hewan. Kebijakan tersebut mengacu pada UU No. 41/ 2014 dan No. UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.
Upaya pencarian alternatif AGP merupakan hal yang sangat penting, melihat dampak negatif yang dapat ditimbulkannya pada hewan ternak dan manusia. Selain meniran dan sambiloto yang termasuk dalam fitobiotik, masih banyak jenis alternatif lain yang bisa dikembangkan untuk mendapat hasil yang paling optimal sehingga penggunaan AGP diharapkan akan terus berkurang dan lama kelamaan tidak dipergunakan oleh para peternak dan pelaku industri hewan ternak.
Pelaku perusahaan dan industri telah melakukan berbagai upaya untuk mencari alternatif penggunaan AGP pada hewan, namun masih perlu mempertimbangkan produk yang tepat untuk mengurangi bakteri patogen dan meningkatkan penyerapan nutrisi. Alternatif untuk AGP yang saat ini ada di pasaran termasuk asam organik, probiotik, prebiotik, simbiotik, fitobiotik, dan enzim. Sambilot dan meniran merupakan fitobiotik yaitu zat perangsang pertumbuhan alami yang berasal dari tumbuhan.
Sambiloto adalah tanaman herbal dari negara-negara Asia Selatan, seperti Sri Lanka dan India. Tanaman ini memiliki nama latin Andographis paniculata. Sambiloto terkenal dengan rasanya yang pahit. Meski begitu, layaknya tanaman herbal lain didalam sambiloto terkandung berbagai zat yang bermanfaat bagi kesehatan. Terdapat zat-zat seperti andrografolid yang bersifat antidiabetes, analgesic, antikanker, dan antioksidan. Zat lainnya yaitu tanin, terpenoid, flavonoid, dan saponin.
Meniran juga takkalah penting. Tanaman dengan nama ilmiah Phyllanthus niruri ini merupakan tanaman liar yang dapat tumbuh di jalanan dan mudah ditemukan di alam bebas. Meniran memiliki senyawa kimia yang terkandung didalamnya antara lain zat filantin, zat penyamak, kalium, dan damar. Tanaman ini bisa digunakan untuk mengobati batuk, demam, disentri, penyakit kuning, ayan, bahkan penyakit malaria.
Kedua tanaman diatas memiliki kandungan yang jika tanamannya diekstrak dapat digunakan sebagai growth promotor untuk hewan. Berawal dari penggunaan tidak tepat AGP untuk mencegah kematian unggas yang disebabkan oleh bakteri bernama Salmonella Pullorum, pada akhirnya justru menghasilkan residu antibiotik pada daging unggas dan dapat berakibat buruk jika dikonsumsi oleh manusia.
Untuk mengatasi masalah tersebut akademisi dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) yaitu Prof. Dr. Ir Sri Hidanah MS dan Dr. Emy Koestanti Sabdoningrum MKes berkolaborasi. Profesor Dr Ir Sri Hidanah MS dan Dr Emy Koestanti Sabdoningrum MKes hadir dengan inovasi Ekstrak Meniran dan Sambiloto sebagai obat antibakteri terhadap Salmonella Pullorum. Dua ilmuwan Unair telah mempelajari manfaat meniran sejak 2012, setelah itu muncul ide menggabungkan meniran dengan Sambilot. “Kami melihat kedua hal ini mudah ditemukan, sehingga dapat menekan biaya bagi para grower. Selain itu, penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan yang umum digunakan juga dilarang,” ujar Prof. Ambillah lebih lambat.
Ternyata Salmonella Pullorum tidak hanya terdapat di saluran pencernaan, tapi juga di alat kelamin. Dahulu, penggunaan AGP pada ayam bila dicampur dengan pakan ternak meningkatkan pertumbuhan ayam dan menurunkan angka kematian. Namun, seiring dengan munculnya praktik yang melarang penggunaan AGP, Profesor Hidanah dan Dr. Emy mulai mencari penggantinya.
Menurut Dr. Emy, Sambiloto dan Meniran bekerja secara sinergis jika keduanya digabungkan. Sebelumnya Profesor Hidanah dan Dr. Emy mengoleksi berbagai bahan herbal, namun bahan aktif sinergisnya adalah Sambiloto dan Meniran. Inovasi ini bermanfaat tidak hanya bagi hewan ternak tetapi juga bagi manusia, karena hewan yang diberi ekstrak Meniran dan Sambilot meningkatkan daya tahan tubuh sehingga terbebas dari berbagai bakteri termasuk Salmonella Pullorum. Hewan yang diberi dosis bahan kimia yang tidak tepat meninggalkan residu pada hewan tersebut, dan Dr. Emy mengatakan hal ini dapat memicu resistensi antimikroba pada ayam petelur dan ayam. Menggunakan bahan alami menghasilkan daging dan telur yang lebih baik karena tidak mengandung residu antibiotik.
Inovasi Profesor Hidanahi dan Dr. Emy untuk menggantikan penggunaan AGP pada sapi dengan ekstrak Meniran dan Sambiloto telah mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Selanjutnya akan dikembangkan menjadi ukuran nano sehingga ekstrak meniran dan hasil penelitiannya yaitu Sambilot dapat dicampurkan dengan pakan ternak. Jika hanya sebagai ekstrak maka diberikan dosis tanpa dicampurkan ke dalam pakan, karena dikhawatirkan ekstrak tidak dapat tercampur secara optimal dengan pakan. Untuk menyiapkannya dalam bentuk nano, prof. Hidanah dan Dr. Emy perlu berkolaborasi dengan industri lain.